Pages

Ads 468x60px

Minggu, 13 Desember 2015

Sisa kemarin malam

Hiruk pikuk selalu membuat semua orang terlihat terburu-buru dengan urusan mereka. Yang kutahu malam tak lagi tenang dan Malang semakin tenggelam dalam keramaian. Malam ini aku membatalkan semua agendaku hanya untuk berbagi dan mengamati berbagai hal yg mengganjal pikiran. Di sebuah kedai kopi, dua cangkir kopi hitam berjejer rapi ditambah secangkir susu cokelat panas. Sebuah buku catatan sengaja tergeletak di atas meja. Semua handphone diletakkan di kotak tissue yang tak lagi terpakai. Kami bertiga saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata. Aku membuka halaman buku tersebut dengan urut. Hingga jemariku berhenti pada salah satu halaman buku dengan judul "Tidak harus dikatakan."
"Apakah ini topik kita malam ini?" Tanyaku dengan ragu. Mereka hanya saling memandang, "Tidak tertarik? Enyahlah sebentar dari ideologi dan politik." Jawab salah satu temanku, sebut saja Aga. Aku mengerutkan kening dan mencoba mengerucutkan pikiranku, "Aku bingung." Jawabku sekenanya.
"Kepalamu penuh dengan pemetaan, ya kan?" Tanya salah satu temanku lagi, anggap saja dia Zie. Aku hanya tersenyum menimpalinya.
Pembicaraan mengalir dengan sangat halus, masing2 dari kita mengeluarkan pendapatnya tanpa diminta.

"Tidak harus dikatakan, aku rindu keadilan. Dimana semua orang tidak membawa nama baik mereka saja. Apa yg belum kalian berdua alami aku sudah pernah mengalaminya, dan tidak sedikit orang yg membenciku. Itu sudah biasa bagiku tapi satu hal yg membuatku muak, secara tidak langsung keadilan diberikan dengan tangan yg menelungkup. Dimana orang pintar menggenggam egonya berjarak ribuan kilo di depan kita, dimana orang cerdas tidak berkutik ketika disuguhi prosedur-prosedur yg melambangkan bendera, dimana orang bodoh hanya ditandai dengan angka. Sejak kapan keadilan menjadi sempit seperti ini?

Tidak harus dikatakan, aku rindu semua orang. Aku rasa semua kecemasan tidak pernah memiliki ujung. Aku rindu semua orang. Sangat rindu. Aku rindu ketika mereka menyisihkan waktunya sebentar saja hanya untuk hal-hal yg sepele. Aku rindu ketika aku masih berada dalam salah satu prioritas mereka. Aku rindu mereka yg menyuruhku mengusir sepi. Aku rindu ketika aku dibutuhkan. Selaras dan berdampingan tapi nyatanya mereka memiliki kepentingan masing-masing. Entahlah aku hanya rindu semua orang yang mampu menolong satu sama lain, yang masih peduli satu sama lain, yg tidak saling mendoktrinkan mindset yg keliru, yg tidak merusak sistem kemanusiawian, yg tidak selalu merasa benar, yg tidak selalu dibutakan dengan keambisiusan. Dimana mereka yg dulu? Dan kenapa semakin kita berusaha memperbaiki diri, orang lain akan tampak seperti memiliki banyak karakter yg ternyata tidak pernah kita jumpai.
Sederhananya aku rindu semua orang yg masih saling menghargai dan saling merangkul. Semua orang tidak berubah termasuk aku, hanya topeng kita saja yg perlahan lepas tanpa sadar. Benar, aku rindu semua orang, yg sejatinya masih mampu menganggap keberadaan satu sama lain tanpa perlu diingatkan bahwa kita ada di sana. Alangkah baiknya jika kita tidak berharap kepada semua orang, tapi hakikatnya kita adalah makhluk sosial. Seolah-olah kita tidak bisa percaya penuh kepada makhluk sosial itulah sebabnya kita perlu menorehkan batas kepada diri kita sendiri. Sebuah perlindungan.

Tidak perlu dikatakan, aku rindu sudut pandang baru. Dimana kita tidak dibutakan oleh satu sisi saja. Dimana kita bisa menyusup lingkaran mereka tanpa merusak sistem di dalamnya. Aku rindu orang-orang yg netral dan masih peduli dengan orang-orang terdahulunya. Tidak meninggalkan mereka yg berada di bawah. Tidak sok-sokan menjadi orang besar yang tau segalanya dan merasa agamanya paling benar sehingga memandang rendah orang yg baru merangkak di atas sajadah. Terus kapan kita belajar memahami orang lain? Mengenal karakter masing-masing? Ah semakin ke sini sudut pandang semakin difokuskan oleh mereka yg dibutakan urusan mereka masing2. Aku rindu sudut pandang baru dimana orang lain yg bersenang-senang tidak selamanya terlena dengan kesenangan itu. Aku rindu sudut pandang baru dimana orang-orang yg berkeinginan tinggi tidak selalu menghancurkan kawannya menjadi lawan. Pasti, menghancurkan itu sudah mutlak meskipun kalian belum menyadari. Mereka yg tidak melupakan apa yg mereka tinggalkan dan darimana mereka berasal. Tidak selamanya pengamat selalu berada di luar garis ada kalanya mereka akan masuk dan membuat sebuah garis baru. Aku ingin kita seperti itu. "

Meskipun singkat begitulah percakapan kami pada malam itu. Intinya kita tidak harus mengatakan apa yg kita inginkan kita hanya perlu mengamati dan menggerakkan hati orang lain. Akan ada sharing dengan topik yg beranekaragam dari kami yg tidak pernah kehabisan topik untuk dibahas. Itulah yg aku suka dari mereka, selalu menyisipkan waktu hanya untuk sharing tentang keadaan sekitar, entah itu politik, agama maupun sejarah. Mereka memiliki pemikiran yg terbuka tapi mereka juga tidak pernah menarik orang lain untuk masuk ke dalam lingkarannya. Kegiatan-kegiatan sosial seperti mengamen, mengumpulkan uang receh untuk membelikan kado seorang tukang becak. Yg aku tahu mereka tidak pernah meminta. Sungguh aku takjub dengan sosok mereka yg datang dari pengalaman pahit bahkan trauma yg berkepanjangan, tapi semangat hidup mereka tinggi, rasa kemanusiaan dan kepedulian mereka yg mampu membuka mata batin orang-orang di sekitar. Apa yg mereka lakukan adalah mendengarkan dan mendengarkan. Segala topik tidak akan pernah bosan untuk dibahas. Terima kasih atas waktu kalian dan terima kasih telah menjadi pelarian beberapa minggu terakhir ini dan tetaplah mampu memahami ketika sedang dibutuhkan orang lain untuk berbagi.

 
Blogger Templates