Aku
tau, aku bakal membenci stasiun. Mengantar dan menjemput, hanya sedikit
kebahagiaan yang terselip di dalamnya. Aku tidak suka mengantar karena itu bermakna
bahwa aku harus menyerahkannya kepada pak masinis yang akan pergi bersama
dengan kereta yang ditumpangi. Dan secara garis besar mengantar berarti kita
siap untuk mengucapkan selamat tinggal walau sementara. Tetap saja aku tidak
suka perpisahan, karena pada saat itu otakmu akan berputar dan memorimu akan
menguras kejadian-kejadian yang telah kamu alami selama ini bersama orang yang
hari ini kamu antar ke stasiun. Aku benci ketika kepalaku dipaksa untuk
memikirkan hal ini. Maksudku sudah biarkan saja memori itu tetap berada di
dalam sana tanpa harus aku keruk lagi, ini hanya akan membuatku sedih dan
teringat, aku tidak suka itu. Aku ingin mengingatnya dalam kebahagiaan, bukan
mengingatnya sambil menangis, karena itu aku membenci mengantar ke stasiun,
siapapun itu.
Ketika
aku harus menjemput, ada perasaan lega dalam diriku namun dibalik kata
menjemput selalu diekori oleh kata mengantar. Kalaupun siklus seperti ini terus
berotasi, aku tau aku bakal sangat membenci stasiun! ...
Aku
hanya ingin menjemput tanpa diikuti mengantar, karena orang itu akan pulang seutuhnya,
kembali ke rumah, kembali ke diriku, menjadi bagian hidupku tanpa harus ada
perpisahan yang bersifat kredit ini. Aku tidak perlu khawatir lagi dengan
perpisahan, cukup di sini saja menemani hari-hariku menyantap sinar mentari
pagi sambil meneguk secangkir teh hangat di beranda, bersama denganmu. Sehingga
aku bisa memaafkan stasiun secara perlahan.
Ini
aneh, mengapa aku membenci stasiun? Padahal selain itu ada terminal, bandara
dan pelabuhan. Karena menurutku stasiun lebih menyakitkan. Ternyata ingatanku
lebih mengena ketika aku berada di stasiun seolah-olah suara kereta itu seperti
medan magnet yang tertancap dalam ingatan hingga mampu menarik memoriku ke belakang,
di situlah tempat kenangan tersimpan dengan rapi. Tapi karena medan magnet itu kenangan
menjadi berantakan, bercampur sedih dan kekhawatiran, “Bagaimana jika ia tidak kembali ke sini?”, hal itu yang selalu
mengusikku setiap kali aku mengantar maupun menjemput di tempat ini.
Di
sana aku selalu menunggu bapak pulang ke Malang, di sana aku mengantarkan bapak
kembali lagi ke Jakarta, di sana aku mengantarkan ibu ke Jakarta, di sana aku
menjemput ibu yang pulang dengan membawa kebahagiaan dari Jakarta, di sana aku
selalu menunggu, menunggu air mataku menetes dan menunggu kebahagiaan yang
sepenuhnya kudamba, bahkan semenjak aku kecil. Kumpul bertiga lagi. Tak perlu
pergi ke stasiun untuk pemberhentian. Di sini ada rumah, yang siap menerima setiap
pemberhentian dan peristirahatan.
Sepertinya
pemberhentian ini semakin banyak, lagi-lagi stasiun. Ibu akan pergi ke Jakarta
menemani bapak di sana, kamu juga akan pergi ke suatu gunung harapan. Tapi
apakah harus stasiun, apakah tidak ada pemberhentian yang lain? Aku tetap di
sini, mimpiku ada di depanku, meskipun aku harus berhadapan dengan stasiun.
Mengantar-menjemput, bertemu-berpisah, ini sementara bukan? Ya kupercaya bahwa ini
sementara. Suatu saat aku akan pergi dengan keretaku sendiri, kalian akan
menungguku di stasiun tapi bukan stasiun yang satu ini.
Stasiun
hanya tempat berlabuh, dan persinggahan. Aku tau tahun ini dan ke depannya akan
sangat banyak yang bersinggah di sana, aku salah satunya namun persinggahanku
untuk menanti. Mau tidak mau aku dihadapkan dengan stasiun lagi, aku tau aku
membencinya bahkan semenjak aku masih merengek-rengek. Tapi aku juga yakin di
sana aku akan mengantar impianku dan menjemput masa depan. Di sini ada satu
mimpi yang menunggu, sehingga aku tak bisa meninggalkan tempat ini, aku akan
mengantar dan menjemput kalian. Seperti biasa. Mungkin lama-kelamaan stasiun
bisa membuatku kebal. Dan tunggulah beberapa tahun lagi, stasiun ini akan
mengirimkan salah satu kereta terbaiknya untuk mengantarkanku menuju mimpi
keduaku. Dan di sana aku akan menjemput kalian, serta menjemputmu… Menjemput
impian kita. Dan entah berapa tahun lagi stasiun bukan lagi tempat persinggahan
yang kubenci melainkan tempatku berbagi cerita. Akan lebih banyak lagi stasiun
yang rela menjadi tempat persinggahanku, karena di sana impianku akan
menjemputku, ada impian pertama, kedua, ketiga bahkan keseribu. Melalui stasiun
ini, aku membiarkan diriku tertarik ke dalam medan magnetnya, menelusuri jalan dan
menjemput impianku yang tertinggal, berkarya.
Stasiun tunggulah aku, biarkan aku mempertanggung jawabkan impian pertamaku di
sini, setelah itu kau boleh mengirimkan kereta terbaikmu kepadaku dan bawalah
aku ke suatu tempat dimana kamu selalu menungguku, sehingga aku bisa dengan
leluasa menjemput impian keduaku, berkarya.
Aku ingin bebas berkarya, biarlah karyaku menjadi tempat persinggahan
setelah stasiun ini.
Lalu
mengapa harus dinamai stasiun? Jika dinamai pelabuhan akankah kereta yang
berlabuh?
Selamat berkarya,
Brave Sakura, Peres Sar Arin
0 comments:
Posting Komentar