Pages

Ads 468x60px

Senin, 03 Februari 2014

Persinggahan yang kunanti, stasiun!



Aku tau, aku bakal membenci stasiun. Mengantar dan menjemput, hanya sedikit kebahagiaan yang terselip di dalamnya. Aku tidak suka mengantar karena itu bermakna bahwa aku harus menyerahkannya kepada pak masinis yang akan pergi bersama dengan kereta yang ditumpangi. Dan secara garis besar mengantar berarti kita siap untuk mengucapkan selamat tinggal walau sementara. Tetap saja aku tidak suka perpisahan, karena pada saat itu otakmu akan berputar dan memorimu akan menguras kejadian-kejadian yang telah kamu alami selama ini bersama orang yang hari ini kamu antar ke stasiun. Aku benci ketika kepalaku dipaksa untuk memikirkan hal ini. Maksudku sudah biarkan saja memori itu tetap berada di dalam sana tanpa harus aku keruk lagi, ini hanya akan membuatku sedih dan teringat, aku tidak suka itu. Aku ingin mengingatnya dalam kebahagiaan, bukan mengingatnya sambil menangis, karena itu aku membenci mengantar ke stasiun, siapapun itu.
Ketika aku harus menjemput, ada perasaan lega dalam diriku namun dibalik kata menjemput selalu diekori oleh kata mengantar. Kalaupun siklus seperti ini terus berotasi, aku tau aku bakal sangat membenci stasiun! ...

Aku hanya ingin menjemput tanpa diikuti mengantar, karena orang itu akan pulang seutuhnya, kembali ke rumah, kembali ke diriku, menjadi bagian hidupku tanpa harus ada perpisahan yang bersifat kredit ini. Aku tidak perlu khawatir lagi dengan perpisahan, cukup di sini saja menemani hari-hariku menyantap sinar mentari pagi sambil meneguk secangkir teh hangat di beranda, bersama denganmu. Sehingga aku bisa memaafkan stasiun secara perlahan.
Ini aneh, mengapa aku membenci stasiun? Padahal selain itu ada terminal, bandara dan pelabuhan. Karena menurutku stasiun lebih menyakitkan. Ternyata ingatanku lebih mengena ketika aku berada di stasiun seolah-olah suara kereta itu seperti medan magnet yang tertancap dalam ingatan hingga mampu menarik memoriku ke belakang, di situlah tempat kenangan tersimpan dengan rapi. Tapi karena medan magnet itu kenangan menjadi berantakan, bercampur sedih dan kekhawatiran, “Bagaimana jika ia tidak kembali ke sini?”, hal itu yang selalu mengusikku setiap kali aku mengantar maupun menjemput di tempat ini.
Di sana aku selalu menunggu bapak pulang ke Malang, di sana aku mengantarkan bapak kembali lagi ke Jakarta, di sana aku mengantarkan ibu ke Jakarta, di sana aku menjemput ibu yang pulang dengan membawa kebahagiaan dari Jakarta, di sana aku selalu menunggu, menunggu air mataku menetes dan menunggu kebahagiaan yang sepenuhnya kudamba, bahkan semenjak aku kecil. Kumpul bertiga lagi. Tak perlu pergi ke stasiun untuk pemberhentian. Di sini ada rumah, yang siap menerima setiap pemberhentian dan peristirahatan.
Sepertinya pemberhentian ini semakin banyak, lagi-lagi stasiun. Ibu akan pergi ke Jakarta menemani bapak di sana, kamu juga akan pergi ke suatu gunung harapan. Tapi apakah harus stasiun, apakah tidak ada pemberhentian yang lain? Aku tetap di sini, mimpiku ada di depanku, meskipun aku harus berhadapan dengan stasiun. Mengantar-menjemput, bertemu-berpisah, ini sementara bukan? Ya kupercaya bahwa ini sementara. Suatu saat aku akan pergi dengan keretaku sendiri, kalian akan menungguku di stasiun tapi bukan stasiun yang satu ini.
Stasiun hanya tempat berlabuh, dan persinggahan. Aku tau tahun ini dan ke depannya akan sangat banyak yang bersinggah di sana, aku salah satunya namun persinggahanku untuk menanti. Mau tidak mau aku dihadapkan dengan stasiun lagi, aku tau aku membencinya bahkan semenjak aku masih merengek-rengek. Tapi aku juga yakin di sana aku akan mengantar impianku dan menjemput masa depan. Di sini ada satu mimpi yang menunggu, sehingga aku tak bisa meninggalkan tempat ini, aku akan mengantar dan menjemput kalian. Seperti biasa. Mungkin lama-kelamaan stasiun bisa membuatku kebal. Dan tunggulah beberapa tahun lagi, stasiun ini akan mengirimkan salah satu kereta terbaiknya untuk mengantarkanku menuju mimpi keduaku. Dan di sana aku akan menjemput kalian, serta menjemputmu… Menjemput impian kita. Dan entah berapa tahun lagi stasiun bukan lagi tempat persinggahan yang kubenci melainkan tempatku berbagi cerita. Akan lebih banyak lagi stasiun yang rela menjadi tempat persinggahanku, karena di sana impianku akan menjemputku, ada impian pertama, kedua, ketiga bahkan keseribu. Melalui stasiun ini, aku membiarkan diriku tertarik ke dalam medan magnetnya, menelusuri jalan dan menjemput impianku yang tertinggal, berkarya. Stasiun tunggulah aku, biarkan aku mempertanggung jawabkan impian pertamaku di sini, setelah itu kau boleh mengirimkan kereta terbaikmu kepadaku dan bawalah aku ke suatu tempat dimana kamu selalu menungguku, sehingga aku bisa dengan leluasa menjemput impian keduaku, berkarya. Aku ingin bebas berkarya, biarlah karyaku menjadi tempat persinggahan setelah stasiun ini.
Lalu mengapa harus dinamai stasiun? Jika dinamai pelabuhan akankah kereta yang berlabuh?
 Selamat berkarya,
Brave Sakura, Peres Sar Arin

0 comments:

Posting Komentar

 
Blogger Templates