Pages

Ads 468x60px

Minggu, 13 Desember 2015

Sisa kemarin malam

Hiruk pikuk selalu membuat semua orang terlihat terburu-buru dengan urusan mereka. Yang kutahu malam tak lagi tenang dan Malang semakin tenggelam dalam keramaian. Malam ini aku membatalkan semua agendaku hanya untuk berbagi dan mengamati berbagai hal yg mengganjal pikiran. Di sebuah kedai kopi, dua cangkir kopi hitam berjejer rapi ditambah secangkir susu cokelat panas. Sebuah buku catatan sengaja tergeletak di atas meja. Semua handphone diletakkan di kotak tissue yang tak lagi terpakai. Kami bertiga saling memandang tanpa mengeluarkan sepatah kata. Aku membuka halaman buku tersebut dengan urut. Hingga jemariku berhenti pada salah satu halaman buku dengan judul "Tidak harus dikatakan."
"Apakah ini topik kita malam ini?" Tanyaku dengan ragu. Mereka hanya saling memandang, "Tidak tertarik? Enyahlah sebentar dari ideologi dan politik." Jawab salah satu temanku, sebut saja Aga. Aku mengerutkan kening dan mencoba mengerucutkan pikiranku, "Aku bingung." Jawabku sekenanya.
"Kepalamu penuh dengan pemetaan, ya kan?" Tanya salah satu temanku lagi, anggap saja dia Zie. Aku hanya tersenyum menimpalinya.
Pembicaraan mengalir dengan sangat halus, masing2 dari kita mengeluarkan pendapatnya tanpa diminta.

"Tidak harus dikatakan, aku rindu keadilan. Dimana semua orang tidak membawa nama baik mereka saja. Apa yg belum kalian berdua alami aku sudah pernah mengalaminya, dan tidak sedikit orang yg membenciku. Itu sudah biasa bagiku tapi satu hal yg membuatku muak, secara tidak langsung keadilan diberikan dengan tangan yg menelungkup. Dimana orang pintar menggenggam egonya berjarak ribuan kilo di depan kita, dimana orang cerdas tidak berkutik ketika disuguhi prosedur-prosedur yg melambangkan bendera, dimana orang bodoh hanya ditandai dengan angka. Sejak kapan keadilan menjadi sempit seperti ini?

Tidak harus dikatakan, aku rindu semua orang. Aku rasa semua kecemasan tidak pernah memiliki ujung. Aku rindu semua orang. Sangat rindu. Aku rindu ketika mereka menyisihkan waktunya sebentar saja hanya untuk hal-hal yg sepele. Aku rindu ketika aku masih berada dalam salah satu prioritas mereka. Aku rindu mereka yg menyuruhku mengusir sepi. Aku rindu ketika aku dibutuhkan. Selaras dan berdampingan tapi nyatanya mereka memiliki kepentingan masing-masing. Entahlah aku hanya rindu semua orang yang mampu menolong satu sama lain, yang masih peduli satu sama lain, yg tidak saling mendoktrinkan mindset yg keliru, yg tidak merusak sistem kemanusiawian, yg tidak selalu merasa benar, yg tidak selalu dibutakan dengan keambisiusan. Dimana mereka yg dulu? Dan kenapa semakin kita berusaha memperbaiki diri, orang lain akan tampak seperti memiliki banyak karakter yg ternyata tidak pernah kita jumpai.
Sederhananya aku rindu semua orang yg masih saling menghargai dan saling merangkul. Semua orang tidak berubah termasuk aku, hanya topeng kita saja yg perlahan lepas tanpa sadar. Benar, aku rindu semua orang, yg sejatinya masih mampu menganggap keberadaan satu sama lain tanpa perlu diingatkan bahwa kita ada di sana. Alangkah baiknya jika kita tidak berharap kepada semua orang, tapi hakikatnya kita adalah makhluk sosial. Seolah-olah kita tidak bisa percaya penuh kepada makhluk sosial itulah sebabnya kita perlu menorehkan batas kepada diri kita sendiri. Sebuah perlindungan.

Tidak perlu dikatakan, aku rindu sudut pandang baru. Dimana kita tidak dibutakan oleh satu sisi saja. Dimana kita bisa menyusup lingkaran mereka tanpa merusak sistem di dalamnya. Aku rindu orang-orang yg netral dan masih peduli dengan orang-orang terdahulunya. Tidak meninggalkan mereka yg berada di bawah. Tidak sok-sokan menjadi orang besar yang tau segalanya dan merasa agamanya paling benar sehingga memandang rendah orang yg baru merangkak di atas sajadah. Terus kapan kita belajar memahami orang lain? Mengenal karakter masing-masing? Ah semakin ke sini sudut pandang semakin difokuskan oleh mereka yg dibutakan urusan mereka masing2. Aku rindu sudut pandang baru dimana orang lain yg bersenang-senang tidak selamanya terlena dengan kesenangan itu. Aku rindu sudut pandang baru dimana orang-orang yg berkeinginan tinggi tidak selalu menghancurkan kawannya menjadi lawan. Pasti, menghancurkan itu sudah mutlak meskipun kalian belum menyadari. Mereka yg tidak melupakan apa yg mereka tinggalkan dan darimana mereka berasal. Tidak selamanya pengamat selalu berada di luar garis ada kalanya mereka akan masuk dan membuat sebuah garis baru. Aku ingin kita seperti itu. "

Meskipun singkat begitulah percakapan kami pada malam itu. Intinya kita tidak harus mengatakan apa yg kita inginkan kita hanya perlu mengamati dan menggerakkan hati orang lain. Akan ada sharing dengan topik yg beranekaragam dari kami yg tidak pernah kehabisan topik untuk dibahas. Itulah yg aku suka dari mereka, selalu menyisipkan waktu hanya untuk sharing tentang keadaan sekitar, entah itu politik, agama maupun sejarah. Mereka memiliki pemikiran yg terbuka tapi mereka juga tidak pernah menarik orang lain untuk masuk ke dalam lingkarannya. Kegiatan-kegiatan sosial seperti mengamen, mengumpulkan uang receh untuk membelikan kado seorang tukang becak. Yg aku tahu mereka tidak pernah meminta. Sungguh aku takjub dengan sosok mereka yg datang dari pengalaman pahit bahkan trauma yg berkepanjangan, tapi semangat hidup mereka tinggi, rasa kemanusiaan dan kepedulian mereka yg mampu membuka mata batin orang-orang di sekitar. Apa yg mereka lakukan adalah mendengarkan dan mendengarkan. Segala topik tidak akan pernah bosan untuk dibahas. Terima kasih atas waktu kalian dan terima kasih telah menjadi pelarian beberapa minggu terakhir ini dan tetaplah mampu memahami ketika sedang dibutuhkan orang lain untuk berbagi.

Sabtu, 26 September 2015

Teruntuk Raka (3)

Teruntuk Raka, yang entah sekarang sedang berada dimana.

...
Aku lupa tepatnya berapa tahun yang lalu, kamu mengijinkanku memasuki kisah dalam hidupmu, yang sebenarnya bukan keinginanku juga. Jika saja bisa kubilang pertemuan kita teramat fana, aku tak mengerti kapan kita akan dipertemukan kembali. Aku hadir karena kamu membutuhkan pertolonganku. Jujur saja awalnya aku hanya sebagai penikmat kisah-kisahmu, berada di luar garis halaman-halaman kehidupanmu, semua ini benar-benar di luar rencanaku. Bahkan aku yang awalnya ragu untuk membeberkan keberadaanku padamu kini menjadi sebuah keharusan untuk tetap berada di sampingmu, hingga kamu tak lagi membutuhkanku.

Pertama kali aku berani memperlihatkan diri di depanmu ketika kamu berada di Puncak Bogor seorang diri. Aku sungguh tak percaya ketika kamu menyadariku secepat itu. 24 September, ketika kamu berumur 15 tahun. Seminggu kemudian kamu melakukan hal tragis yang tak seorang pun tahu. Berada di dalam studio tari seorang diri, mencoba untuk membakar dirimu dengan menyiramkan minyak tanah yang di sekujur tubuhmu. Kamu memang sinting Raka, aku tak paham dengan akal sehatmu selama ini atau jangan-jangan kamu tak memiliki akal sehat? Dan pada saat itulah aku muncul, secara resmi memperkenalkan diri di hadapanmu. Apakah kamu ingat dengan mimpi buruk yang selalu menghantui malammu? Ketika kamu bermimpi sedang membakar dirimu sendiri kemudian ada seseorang yang menarik tanganmu keluar dari lingkaran api itu? Itulah aku, seorang gadis normal yang memiliki kehidupan sewajarnya sebelum bertemu denganmu.

Raka, ternyata kamu punya duniamu sendiri ya? Selama ini aku hanya mengamati perilakumu yang layaknya lelaki normal pada umumnya, atau hanya aku saja yang tidak peka? Setiap kali aku bercerita kepadamu bahwa aku mengenalmu lebih baik daripada dirimu sendiri, kamu selalu membantah perkataanku, seolah-olah aku tidak mengerti apa-apa soal kepribadianmu.

Ingat tidak ketika kamu berumur 6 tahun kamu bermain layang-layang bersama kedua kakakmu lalu kamu terjatuh dari loteng dan mereka hanya menertawakanmu. Lututmu terluka dan kamu menangis seorang diri, lalu ada seorang gadis yang mengulurkan tanganna dan memberimu hansaplast bergambar Car, itulah aku. Ingat tidak ketika pertama kalinya kamu dibawa ke rumah sakit lalu kamu tersesat pada saat hendak pergi ke kamar kecil. Kamu bertemu gadis kecil yang mengenakan piyama dan gadis itu memberikan sebuah peta rumah sakit hasil gambarannya sendiri, itulah aku. Ingat tidak ketika kamu hendak melompat dari atap sekolah dan tiba-tiba terdengar sirine kebakaran sehingga seluruh penghuni sekolah panik seketika itu kamu mengurungkan niatmu, sebenarnya akulah yang membunyikan sirine tersebut. Banyak hal yang tidak kamu sadari Raka, tapi jujur saja pada saat itu aku masih takut untuk menampakkan diri di depanmu.

Aku seolah-olah menjadi kutub selatan dan kamu menjadi kutub utara. Tak mengerti mengapa aku selalu mengikuti langkah kakimu. Kamu pun sudah terbiasa dengan kehadiranku, anehnya tak pernah sekalipun kamu mengusirku pergi atau merasa terganggu olehku. Hampir setiap hari kuhabiskan waktuku bersamamu. Aku jadi semakin paham dengan dunia yang kamu buat sendiri. Kamu tak lagi mengalami kesedihan berkepanjangan. Aku berada di sampingmu untuk menghapus trauma masa kecilmu yang amat buruk. Bahkan untuk membeberkannya dalam surat ini pun aku tak berani. Bukankah sudah kubilang sejak awal kamu menyadari keberadaanku, aku di sini untuk melindungimu Raka.

Sebenarnya aku juga punya kehidupan sendiri. Gadis polos yang terlahir dari keluarga sederhana di sebuah desa di salah satu kota yang berada di Pulau Jawa. Masa kecilku teramat bahagia dengan kedua orang tua yang sangat menyayangiku. Dulu aku suka sekali mendengarkan orang lain bermain piano, mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa aku juga menyukaimu. Minuman favoritku adalah susu cokelat, sama sepertimu. Aku juga takut gelap karena aku selalu tidur di ruang tengah dengan tv menyala sepanjang malam. Aku suka makan di dapur sendirian karena aku tidak suka makan di meja makan. Aku juga suka berbicara pada makanan yang hendak kusantap, sama sepertimu.

Raka, apakah kamu masih ingat ketika kita berdua makan siang di meja makan rumahmu? Pada saat itu hari libur dan semua keluargamu berlibur kecuali kamu. Duduk kita berhadapan satu sama lain dan di depan kita sudah ada satu porsi nasi goreng yang kita bagi menjadi 2, pemberian dari kakak sepupumu, Farel. Hening. Tidak ada satupun dari kita yang berbicara, melainkan hanya suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring. Aku tak merasa lapar pada saat itu sehingga makanan yang berada dalam mulutku kukunyah seadanya. Aku mendongakkan wajah berharap kamu dapat melahap nasi goreng itu dengan nikmat, sayangnya kamu hanya melamun. Sekali-dua kali makanan masuk ke dalam mulutmu dengan terpaksa.
“Nasi goreng ini mengajakku bicara, katanya dia tidak mau masuk ke dalam perutku.” Katamu dengan serius. Lalu aku tertawa begitu juga denganmu.

Raka, aku senang bisa menghabiskan hari-hariku bersamamu. Ternyata berteman denganmu sungguh mengasyikkan. Kamu tak seperti yang orang lain katakan. Luka-lukamu pun perlahan tertutupi. Trauma yang kamu alami juga tak lagi membuatmu takut untuk tidur. Aku senang bisa membantumu.

Hingga suatu hari, orang lain menyadari keanehanmu. Dia terus-menerus bertanya tentang kehidupanmu juga kehidupanku. Padahal sudah jauh-jauh hari kamu telah berjanji untuk tidak mengatakan segala tentangku. Tapi ternyata kamu mengatakannya dengan mudah. Hari semakin hari keberadaanku pun terancam. Aku sebal sehingga aku tak mau lagi bertemu denganmu, melihatmu pun aku sangat kecewa. Segala upaya kamu lakukan agar bisa bertatap muka lagi denganku tapi aku selalu bersembunyi darimu. Lalu tanpa sengaja kamu menemukanku ketika kamu hendak pergi ke rumah sakit menemui orang jahat itu dan kamu mengajakku pergi ke sana. Kamu berkata bahwa dia adalah orang baik yang ingin membuat kehidupanmu lebih baik daripada sebelumnya. Aku tidak membenarkan hal tersebut apalagi ketika dia berbicara langsung denganku, dia menyuruhku untuk tidak lagi menemuimu. Dia, orang jahat itu adalah dokter. Bukankah sudah kubilang padamu Raka, aku sangat benci dokter.

Lambat laun kamu mulai menjauh dariku. Kamu bilang sudah tidak lagi membutuhkan pertolonganku karena aku tak mampu lagi untuk melindungimu. Aku merasa sedih, rasanya seperti aku dibuang jauh-jauh oleh orang yang selama ini kupercaya, yang selama ini telah menghabiskan hari-harinya bersamaku, yang selama ini selalu membagikan kisahnya dan yang selama ini telah mengakui keberadaanku.

Sayangnya, keeksistensianku tak lagi kamu harapkan. Kamu telah menjadi pribadi yang baru, jelas terlihat lebih baik dari sebelumnya. Aku tak lagi mampu untuk kamu akui. Tapi satu hal yang tak dapat kulupakan. Pada saat itu hari ulang tahunku yang entah ke berapa, kamu memberiku hadiah, sebuah kaos bertuliskan, “Jiwa kita satu.”
“Terima kasih karena kamu telah ada, dan semua perlindungan yang telah kamu berikan demi memperbaiki luka-lukaku di masa lalu. Jika kamu tidak menyelamatkanku mungkin aku sudah menjadi orang lain yang lebih buruk dari aku sebelumnya.” Ucapmu dengan tulus seraya menggenggam telapak tanganku dengan erat. Aku tahu kamu sedang menahan air matamu mengalir tapi tenang saja aku tidak menyesal telah mengisi hari-harimu.

Raka, saat ini aku merindukan keberadaanmu. Sudah sangat lama aku tidak bertemu denganmu. Akupun ragu apakah kamu masih mengenalku atau tidak. Terlebih jika kamu masih mengingatku. Yang aku tahu kehidupanmu semakin membaik, aku selalu berharap kamu baik-baik saja. Bersahabatlah dengan luka-lukamu di masa lalu. Tulislah kisahmu serapi mungkin untuk masa depan. Aku tahu kamu kuat. Bertahanlah, meskipun kamu memikul beban yang lebih berat dari orang lain. Raka, aku suka dengan sosokmu saat ini. Kepribadian barumu membuat semua orang nyaman akan keberadaanmu.

Terima kasih sudah membuat delusi karakterku tampak nyata dalam kisahmu.

Dari aku, sesosok kepribadian dalam penyakit Skizofrenia-mu, Raka.

Kamis, 24 September 2015

Teruntuk Raka (2)


Teruntuk Raka, yang entah sekarang sedang berada dimana.

“Aku tidak suka dengan ruangan yang gelap.”
Raka, aku masih heran mengapa kamu tidak suka tidur di ruangan yang gelap. Apa karena kamu takut dengan hantu? Tapi setauku Raka bukan lelaki yang takut dengan hal-hal seperti itu. Andai saja aku berani untuk bertanya kepadamu secara langsung, ah tapi siapalah diriku ini kamu pun tidak benar-benar mengenalku. Pernah satu malam aku menguping pembicaraanmu dengan Farel, kakak sepupumu yang sangat baik hati. Kamu bercerita tentang mimpi burukmu ketika kamu masih berusia 7 tahun. Seperti deretan delusi yang tidak memiliki konsep, namun mimpi tersebut tidak pernah berubah, selalu statis, selalu itu-itu saja. Misterius. Tiap kali kamu memejamkan mata, alam mimpi tidak lagi bisa bersahabat denganmu. “Dalam mimpi itu aku membakar diriku sendiri dengan api yang sangat membara, di sana ada sebuah kaca besar dan aku dapat melihat serpihan diriku terbakar perlahan. Lalu aku melihat ada uluran tangan dari luar api itu, aku tak tahu siapa dia.” Ucapmu padanya. Mimpi tersebut muncul ketika kali pertama kamu tertidur di ruangan gelap, meskipun kamu tak tahu persis ruangan apa itu.

Raka, aku bingung karena kamu selalu membungkam jika ditanya soal mimpi buruk dan ruangan yang gelap. Aku punya sebuah ingatan yang mungkin saja sudah kamu lupakan atau terselip di salah satu memori burukmu. September malam, tepatnya pada tanggal 24. Ketika kamu berumur 7 tahun. Tidak ada pesta, hanya ucapan selamat ulang tahun dari beberapa anggota keluarga. Pada saat itu ibumu sedang hamil, semua orang sibuk mempersiapkan kelahiran calon adik kandungmu. Sayangnya kamu harus tinggal di rumah seorang diri ketika semua orang pergi ke rumah sakit. Aku mendengarmu berteriak kencang dari luar rumah ketika ada pemadaman serempak di kompleks rumahmu. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi di dalam sana. Seharusnya kala itu aku menerobos masuk menuju rumahmu, tetapi aku tak bisa. Ada banyak hal yang menghalangi keberadaanku. Aku yang perlahan-lahan meminjam kisahmu tanpa ijin atau lebih tepatnya mencuri, dan aku yang tanpa sadar tertarik masuk ke dalam salah satu kisahmu juga.

Seharusnya kamu tahu, satu tahun selalu berjalan lebih cepat daripada yang terpikirkan. Menginjak remaja, kamu menjadi primadona di sekolah. Kamu menjadi pusat perhatian semua orang. Tapi tetap saja, pribadimu yang pendiam dan cuek tidak menghalangimu untuk menjadi sosok yang dipuji-puji. Aku masih ingat ketika tanpa sadar mengintip halaman di lembar kisahmu, tentang kamu yang berusaha bertahan di atas popularitas itu. “Aku bisa membunuh mereka yang menyukaiku.”, tulismu pada judul halaman tersebut. Aku terpekik kaget melihat isinya. Satu hal yang baru kusadari, kamu tidak suka disukai orang lain.

Kamu benci bau rumah sakit, sayangnya pada umur yang ke 13 kamu harus dirawat di tempat tersebut. Kamu mengalami kecelakaan yang menyebabkan dirimu tak bisa berjalan berminggu-minggu. Aku masih ingat betul sebelum kecelakaan kamu bertengkar hebat dengan ayahmu, beliau melayangkan pukulan keras yang mengenai rahangmu. Tanpa sadar cairan berwarna merah mengucur melalui bibirmu. “Kami membencimu Raka!” Ayahmu melontarkan sebuah kalimat yang seharusnya tidak ditujukan kepadamu. Lalu dengan emosi yang membara kamu pergi meninggalkan rumah. Tanpa alas kaki kamu berlari sejauh mungkin dari tempat itu. Ingat tidak, sebelum kamu mengalami kecelakaan kamu berbisik kepadaku bahwa kepalamu sangat pening. Setelah itu yang aku tahu kamu sudah tergeletak di pinggir jalan.

Raka, kamu menulis sebuah catatan kecil di saku celana jeansmu kan? Tenang saja tak seorang pun tahu kecuali aku. Jangan tanya bagaimana, aku memang tahu karena saat itu aku sedang berada di sana. Apakah selama ini kamu tidak menyadari keberadaanku Raka?
Kepada : Teman-teman               
Aku sudah terbiasa dibenci, untuk itu jangan membiasakan diri untuk memperlakukanku dengan tidak biasa. Jangan menyukaiku.

Raka, kamu boleh menyebutku jahat. Sebelum kamu sempat menyebarkannya, catatan itu telah aku simpan di tempat yang tidak diketahui semua orang bahkan dirimu sendiri. Aku benci ketika semua orang dipaksa untuk membencimu. Seandainya kamu sadar, semua orang layak untuk dicintai begitu pula dirimu.

Tepat ketika kamu berulang tahun ke 15. Ketika kamu bersikeras untuk pergi ke Puncak Bogor seorang diri, kamu mulai menyadari keberadaanku. “Siapa kamu?” Tanyamu padaku. Jujur saja aku ingin segera menjawab pertanyaanmu pada saat itu. Namun belum waktunya kamu mengetahui keberadaanku. Sehingga terpaksa aku harus melarikan diri dan bersembunyi lagi di balik ingatanmu. Kamu pulang dengan langkah gontai, menghampiri sebuah rumah dengan gerbang berwarna silver. Seketika pintu gerbang pun terbuka, kakak sepupumu Farel muncul dan menarikmu keluar kembali dari gerbang itu, “Sebaiknya kita menghabiskan sisa malam ini di luar. Kamu suka kopi jenis apa Raka?”


Selamat ulang tahun dariku, Raka. Aku harap saat ini kamu sedang merayakan hari lahirmu bersama orang-orang yang tulus mencintaimu. Bersahabatlah dengan pribadi barumu yang lebih baik. Keberadaanmu yang tak lagi rasional tak menghalangi niatku untuk mengumpulkan kepingan kisahmu yang terlupakan. Tetaplah bertahan, walaupun saat ini aku meragukan keeksistensianmu sebagai Raka yang kutahu.

Bersambung…

Teruntuk Raka (1)

Teruntuk Raka, yang entah sekarang sedang berada dimana.

Selamat malam Raka, bagaimana kabarmu? Aku harap kamu baik-baik saja di sana. Ah iya, kamu pasti tidak mengenalku? Ah bukan seperti itu, hanya saja saat ini aku sedang menyangsikan segala ingatanmu. Untuk bertemu denganmu saja mustahil bagiku. Jadi, apakah kamu menyukai segala perubahan dalam hidupmu saat ini? Aku selalu berharap kamu mengalami hal-hal yang menyenangkan. Semoga kamu selalu mendapat perlindungan dan kehidupan yang layak ya, Amin.

Tak sengaja aku mengutip kata-katamu pada saat itu. "Aku benci malam." Apakah belakangan ini kamu mengalami insomnia? Aku harap tidak, akan tetapi firasatku berkata lain. Aku tau kamu membenci insomnia, apalagi jika kamu sedang terkunci di dalam kamar seorang diri. Tak ada teman bicara, kamu hanya termenung dan memikirkan hal-hal yang akan terjadi pada esok hari. Sama, aku pun juga begitu. Aku sangat membenci insomnia. Ingat tidak, ketika kali pertama kamu mendapati kaos kakimu disembunyikan oleh kakakmu saat itulah kamu mengalami insomnia akut, sepanjang malam kamu hanya memikirkan cara untuk mendapatkan kaus kakimu kembali di keesokan hari. Ingat tidak, ketika kali pertama kamu diam-diam mengambil secuil donat karena tak dapat menahan rasa lapar pada tengah malam dan tiba-tiba kamu mendapatkan dirimu terkunci di dapur saat itulah kamu benci dengan kesendirian. Ingat tidak, ketika kali pertama kamu tidur di kamar yang sama dengan kakak-kakakmu saat itulah kamu paham bahwa kamu mulai diperlakukan berbeda oleh yang lain. Ingat tidak, ketika malam tahun baru di saat umurmu 4 tahun, kamu merengek minta dibelikan kembang api nyatanya mereka malah membelikanmu obat, yang paginya baru kamu sadari ternyata itu adalah obat tidur dan malangnya kamu melewatkan momen tahun baru yang sangat kamu dambakan. Ingat tidak, ketika kamu tidur di atas karpet bergambarkan Tom and Jerry kamu selalu terbangun pada tengah malam dan mendapati dirimu sedang berada di ruang tamu. Hukuman serupa itulah yang membuatmu sangat membenci malam hari. Aku sempat berpikir apakah kamu tidak merasa lelah ketika kamu menghabiskan malammu hanya dengan melamun, atau luka-luka yang kamu alami menyita malammu. Raka, setidaknya kamu harus memikirkan kondisimu pada saat itu. Jujur saja aku tak tega melihatmu bermain dengan sepi di malam hari, berharap esok hari akan menjadi hari yang lebih baik. Harapanmu di tengah malam yang selalu mengambang dalam pikiran, berdoa agar mereka tidak melepasmu. Kamu tau Raka, aku selalu ingin berada di sampingmu berkata bahwa segalanya akan segera membaik, mengusap kepalamu dan menyanyikan lagu Nina Bobok dengan lirih atau membacakan dongeng hingga kamu terlelap tanpa ada satu pikiran yang menerobos masuk tanpa ijin ke dalam mimpi-mimpimu. Jika aku tak mampu menemanimu dalam rapuhnya malam, aku ingin membiarkanmu bermimpi indah, sekali saja. Raka, cobalah untuk bersahabat dengan malam dan cobalah untuk melunak pada luka-lukamu kemarin.

Ternyata pagi hari selalu membawa harapan baru, benar tidak? Aku masih ingat ketika kamu bercerita tentang pagi di Denpasar, begitu kamu membuka mata hangatnya mentari langsung menyambut harimu. Kali pertama kamu berlibur bersama mereka. Kamu sengaja tidur di balkon hotel, dengan berselimutkan 2 jaket tebal oleh-oleh dari Bandung, hanya untuk melihat mentari pagi menyapamu. Sepertinya kamu masih begitu menikmati cahaya mentari pagi ketika kakak sepupumu datang membawakan segelas susu Milo, kesukaanmu dan sepotong roti lapis berbentuk segitiga. Lalu kakakmu segera memanggilmu untuk sarapan pagi bersama dengan yang lain. Sempurna. Jika saja pagi itu kamu bisa menikmati lebih lama waktu berliburmu, aku yakin kamu sangat bahagia. Aku selalu berharap kamu masih mengingat hal-hal kecil seperti ini, yang secara tidak sengaja menyentuh hatimu dan membuatmu bertahan.

Hingga beberapa minggu kemudian liburanmu telah usai. Kamu harus bangun pagi sekali untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Jadwal tidurmu pun berantakan, ada kalanya kamu hanya tidur selama satu jam, itupun sudah sangat kamu syukuri. Aku menjadi penasaran, mengapa malam tidak pernah membiarkanmu terlelap dengan tenang. Entahlah, mungkin jika pertanyaan ini kulontarkan padamu kamu pun hanya bisa menggelengkan kepala tak mengerti. Ranjang kecil tempatmu merebahkan tubuh selalu kamu bereskan serapi mungkin, diantara berjejer-jejer ranjang di sana kuyakin hanya ranjangmu yang paling rapi meskipun hanya ada selimut tebal di atas spreimu. Kamu selalu mendapatkan antrian mandi paling akhir, walaupun kamu selalu bangun paling awal. Raka, aku tak mengerti perlakuan macam apa itu.

Raka, maafkan aku yang telah mencuri secuil kisahmu di meja makan, meskipun aku tau kamu sebenarnya segan untuk membagikan kisahnya bersamaku. Pagi itu kamu tampak terburu-buru menuruni tangga. Berderet-deret makanan dan minuman telah disajikan di meja makan. Sebuah kursi kosong telah disiapkan untukmu. Semua mata memandangmu, lalu kamu melantunkan kata maaf. Dengan segera kamu meneguk segelas susu Milo cokelat tanpa ragu. Tampaknya mereka masih menikmati makanan yang telah dihidangkan hingga melupakan satu hal, tidak ada makanan di mejamu selain segelas susu yang sudah habis tanpa sisa. Hal ini pun tetap berlanjut di kemudian hari. Aku tak mengerti mengapa kamu tidak protes saja pada saat itu, melainkan hanya diam saja menunggu mereka menghabiskan sarapan di pagi itu. Raka, apakah setidaknya kamu tidak merasa lapar? Aku saja hampir setiap hari selalu diberi sarapan bahkan aku tidak boleh keluar rumah jika belum sarapan.

“Tidak ada sarapan yang tersisa.” Katamu pada saat itu. Aku hanya mengangguk pelan, melihat ekspresimu yang mencoba mengingat kisahmu saja aku tak tega apalagi membayangkannya. Raka, aku baru menyadari satu hal dalam dirimu, kamu ternyata sangat rapuh. Ketika kamu bilang, “Aku tak ingin mengganggu sarapan mereka.” Inginku menarikmu keluar dari kisah di meja makanmu dan menggantikannya dengan kisah yang lebih menyenangkan, mungkin saja sarapan di negeri orang sambil menikmati segelintir semangat untuk mengawali hari. Aku tidak suka melihatmu bersedih seorang diri, terutama ketika kamu kabur menuju ruang music dan berani membolos pelajaran demi melampiaskan kepedihanmu. Tuts hitam putih bergerak dengan lincahnya karena jemarimu yang sedang menari di atasnya, segala melodi terdengar di seluruh ruang. Kamu tenggelam bersama duniamu meluapkan segala perih. Hingga membuatku tercengang ketika kamu disuruh bermain piano di atas panggung untuk mengisi salah satu acara sekolah. Kelihaianmu terhadap piano membuat mereka terheran-heran, sesosok Raka yang sangat pendiam, cengeng dan tak memiliki satu pun teman di sekolah.

Ada kalanya aku berharap saat ini kamu sedang berada di Jerman untuk pergi ke sekolah music. Ah, tapi aku siapa? Mengenalmu pun aku ragu. Tapi tenang saja, potongan-potongan kisahmu masih tersimpan rapi dalam benakku meskipun aku sungguh skeptis mengenai keberadaanmu.

Bersambung...

Selasa, 15 September 2015

Namanya juga teman

NAMANYA JUGA TEMAN.
Sudah berjam-jam aku membiarkan diriku terjebak dalam ceritanya. Sambil menghabiskan sisa es tehku yg tinggal seteguk. Aku tak tahu ternyata saat itu aku sungguh menikmati jalan ceritanya hingga ku tak sadar aku pun ada dalam sebagian kisahnya. Lalu pandanganku berhenti tepat ketika dia menyodorkan secarik kertas yg berisi salah satu puisi milikku, "Ini nih! Mirip seperti yg aku alami.", ujarnya sambil tersenyum girang.
Aku bingung, masih tak mengerti maksud dari ucapannya, "Kok bisa seperti itu? Kamu kali yg merekayasa ceritamu." tanyaku sambil menggaruk-garuk rambutku yg tidak gatal.
Dia langsung menyodorkan segelas es teh yg masih penuh kepadaku, "Buatkan aku satu cerpen atau novel yg berkisah tentangku, seperti yg aku ceritakan tadi. Yg mirip puisi yg kamu buat ini."

Sabtu, 12 September 2015

Banyak suara, banyak penulis

SAPERE AUDE!
Dunia menjadi tempat yang riuh. Masalahnya, sebagian besar ingin didengar. Bersuara tak lagi cukup. Kita berteriak. Yang berteriak paling kencang, tentu saja merasa jadi juara. Setidaknya jika tak bisa berteriak kencang, kita mencoba membungkam orang lain dengan pena.

Jumat, 11 September 2015

Persinggahan

PERSINGGAHAN.
Kenapa harus berlari lagi ketika sudah ada tempat untuk berhenti?

Akhirnya

AKHIRNYA.
Tanpa ia sadari kedua ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk satu lengkung pelepas sedih. Sungguh melegakan.

Pilihlah aku

PILIHLAH AKU.
Kadang kata tak berarti, kalau hanya kan sakiti. Diam bukanlah tak ingin, degup jantung kian terbisik. Sadarkah kau kusayangi.

Mencari anggota

MENCARI ANGGOTA.
“Kami organisasi yang melahirkan para pemimpin hebat dan berada di jalan yang lurus. Biar yang lain mencaci-maki kami, karena mereka hanya pembenci yang tak mampu membuat perubahan.” Sebuah PM yang muncul di salah satu sosmed. Ah birokrasi macam apa lagi, sukanya bermain politik. Jadi sudah merasa benar dimata masyarakat ya? 

Menemani malamnya

MENEMANI MALAMNYA.
Sudah berapa cangkir ya? Batinnya sambil menyesap sisa ampas kopi.

Berisik

BERISIK.
Berpasang-pasang mata menatapku dengan tajam. Menunggu celotehan yang tak kunjung redam. Lalu aku melihat seseorang yang tiba-tiba berjalan ke arahku, sosok yang tak asing lagi bagiku. Semua pandangan teralih padanya, senyum mereka mengembang. Terlalu cuek, tak sekalipun dia menanggapi senyum itu. Mulutku terkatup, ketika dia menghampiriku. Dia mendekatkan kepalanya padaku, “Suaramu terlalu mengganggu.” Bisiknya samar, seketika itu dia berjalan menjauh.

Minggu, 06 September 2015

Katakan Saja

Mungkin saat ini kau sedang mengesampingkan egomu sendiri.
Membiarkan dia melepas jerat tali pada kakimu secara perlahan.
Tapi hati tidak dapat berbohong, kita manusia bukan hewan.
Katakan saja bahwa kau menginginkannya.
Katakan saja bahwa kau merindukan belaian kasihnya.
Katakan saja bahwa kau juga ingin dilihat tanpa melalui lensanya.
Katakan saja bahwa kau nyata.
Sedang berdiri di ujung goa menatap semburat senja yg meninggalkan ketidakpastian.
Menunggu dan tetap menunggu tanpa perlawanan.
Katakan saja bahwa kau tidak ingin berteriak di ujung goa seorang diri.
Katakan saja bahwa kau ingin merayakan kesunyian bersamanya.
Katakan saja bahwa kau membutuhkannya.
Walaupun kau sadar egomu bisa lebih besar daripada ini,
Meskipun kau paham pilihan tidak pernah berjanji untuk tidak melukai,
Tapi tidak ada alasan untuk tidak tetap tinggal.
Katakan saja pada sang pujangga, bahwa kau mencintainya.

Selasa, 25 Agustus 2015

Sajak Beku

Beku
Tak bergerak
Tak bicara
Tak mendengar
Tak ada rasa
Diam
Mencicipi perasaan
Tak sudi lah
Merasakan emosi
Tak berarti lah
Beku
Terpaku
Tak ingin merasa

Ada apa gerangan?

Sabtu, 22 Agustus 2015

Sajak Sendiri

Biar sendiri
Biar sepi
Kelam
Lalu tenggelam
Dalam malam
Ku hening
Ku terenyuh ramai
Tapi sendiri
Mencari inspirasi

Sajak Kosong

Benar-benar kering
Tak tersisa inspirasi
Benar-benar lupa
Rasanya berkarya
Terpojokkan luka
Kalam teraniaya
Diri terpental
Kosong tertinggal
Lupa karya
Lupa aksara
Lupa diri?

Sabtu, 01 Agustus 2015

"Funny, how something that doesn't even exist shall eventually be the messenger, of all our questions awaiting answers." - Unknown.

Rabu, 15 Juli 2015

Finding the box with all those memories

I was cleaning out and then finding the old box and it brought back so many memories.

Senin, 13 Juli 2015

Terima kasih untuk tetap kuat


Seperti senja yang mulai pergi dengan ikhlas hanya untuk membiarkan malam hadir
Selalu ada alasan dari semua yang terjadi dan tak perlu menghantui dengan kecemasan-kecemasan yang tak berkesudahan
Menarilah di tengah hujan meski dengan kaki yang penuh luka
Lepaslah alas kakimu lalu rasakan kakimu menyentuh bumi
Tataplah langit, sebab kita telah diselamatkan
Menangislah jika memang itu menyakitkan
Marahlah jika memang itu yang dirasa
Akuilah jika memang luka itu ada
Jika memang luka itu ada
Cobalah untuk sedikit saja melunak pada luka
Setubuhi perih dengan cuka paling sunyi
Ketika dunia memperolok-olok ketololanmu tertawalah dengan luka-lukamu
Rebahkan tubuhmu ketika lelah
Biarkan luka-luka itu menjadi pengingat untuk apa berada di sini
Ingatlah, bahwasanya bahagia hanya perlu lapang, membiarkan segala tanpa perlu cemas
Berjuanglah, meski hari ini lagi-lagi harus terluka
Dan terima kasih untuk tetap kuat





-via : hipwee

[Review] Daniel Keyes: 24 Wajah Billy, Dua Puluh Empat Orang Hidup Dalam Diri Billy Milligan

Hai semua! Akhirnya saya keturutan mereview novel non-fiksi dari sosok yang benar-benar sinting dengan kasus yang sungguh membuat saya penasaran serta kisah hidupnya yang tragis, memilukan dan begitu menyentuh. Setelah berhari-hari saya berkutat dengan ebook berbahasa inggris yang lumayan ribet untuk dipahami dan berbagai sumber dari internet, kali ini saya akan mengulas tentang kisah hidup seseorang yang telah dibukukan. Apakah kalian pernah mendengar nama Billy Milligan atau setidaknya pernah membaca sebuah artikel yang membahas sosok tersebut? Dan apakah kalian tau apa itu kepribadian ganda? So here we go, let me tell you...
“Billy milligan bisa menjadi sosok siapa saja sesuai keinginannya, kecuali dirinya sendiri.”
Di luar kendali sistem kesadarannya, Billy Milligan adalah sesosok lelaki yang terjebak dalam 24 kepribadian yang terpecah belah, tragisnya masing-masing  kepribadian membuat kerusuhan yang bahkan Billy sendiri tidak sadar. The Minds of Billy Milligan atau 24 Wajah Billy, novel yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia ini merupakan novel keempat dari Daniel Keyes yang diterbitkan pada tahun 1982.Secara keseluruhan novel ini mengangkat tema kepribadian ganda atau Multiple Personality Disorder (MPD) , saat ini lebih dikenal dengan sebutan Dissociative Identity Disorder (DID), yang diambil berdasarkan kisah nyata William Stanley Milligan (Billy Milligan). Penyebab kepribadian ganda Billy juga digambarkan dalam novel ini. Keyes pertama kali berjumpa dengan Billy di Athens Mental Health Center di Athens, Ohio, secara pribadi Keyes diminta oleh Billy untuk menuliskan kisahnya.
Perlawanan dalam setiap kepribadian dimulai ketika Billy terbangun di dalam sel penjara. Dia ditangkap karena menculik dan memperkosa 3 wanita asal Ohio State University. Berdasarkan penyelidikan dan saksi korban, Billy dituduh menjadi dalang dalam peristiwa kriminal tersebut. Dalam proses penyidangan dari pengacaranya, Gary dan Judy, Billy mengaku bahwa dirinya gila, karena dia sering kehilangan waktunya dan ketika dia terbangun sudah dituduh melakukan tindakan kriminal. Sehingga dia dibebaskan dari kejahatannya dengan alasan kegilaan karena kepribadian ganda, mungkin beberapa orang akan berpikir ini adalah alasan bahwa Billy menjadi begitu terkenal di dunia. Padahal ini adalah keputusan pengadilan pertama kalinya dalam sejarah yang mengatasnamakan tersangka terbebaskan karena kepribadian ganda yang dimilikinya, Billy dikenal sebagai sosok yang kontroversial. Sehingga kisah ini telah membuka pintu sejarah dunia terutama dalam bidang abnormal psikologi, dan merupakan kasus yang paling luar biasa serta mengerikan dari semua kepribadian ganda yang pernah tercatat. Sungguh menarik bukan? ^^

Minggu, 12 Juli 2015

50 Random Questions Tag!

1.       Are you very affectionate person? I hope so
2.       Are you very sensitive person? Oh yes
3.       Are you stubborn? Yes
4.       Are you afraid of walking alone at night? Hmm maybe yes, I’m afraid of begal
5.       Do you like your handwriting? Yes
6.       Do you have kids? Nope. I mean someday haha
7.       Do you use sarcasm a lot? Hmm a little bit
8.       Do you think you are strong? Sometimes
9.       Do you sleep with your closet doors open or closed? Closed
10.   Do you like to use post-it notes? Nah, I lose them too easily
11.   Do you ever count your steps when you walk? No, I lose track whenever i try to
12.   Do you sing in the shower? I have a concert in the shower
 
Blogger Templates