Pages

Ads 468x60px

Selasa, 12 Januari 2016

Bersaing tapi lupa diri

Kebebasan tanpa batas untuk saling menikam jantung saudara sendiri, hingga merasa jenuh.

Asap mengepul di balik kacamata hitamnya. Pria ini berdiri di balik pintu sambil berkacak pinggang bak seorang lintah darat. Di sela-sela jemari kirinya terdapat sebatang rokok yg tinggal setengah. Ia memandangi luas lahan di depan rumahnya,
"Akan kau apakan lahan itu?", sesosok pria setengah baya keluar dari dalam rumah, dengan pakaian era 90-an. Ia menggenggam sebuah cangkir kosong di telapak tangan kanannya.
"Apa yg kau mau dariku?", ia- pria berkacamata langsung menoleh dan melontarkan pertanyaan yg tidak bersinambungan. "Baiklah. Akan kuberikan semua yg kau inginkan, termasuk satu-satunya sisa lahan ini sebelum para penguasa melahap habis semuanya."
Pria setengah baya pun menjatuhkan cangkirnya ke atas tanah. Pecah berkeping-keping. Tanpa rasa bersalah ia mengambil salah satu kepingan yg menurutnya paling tajam.
Sedangkan pria berkacamata tadi segera menggulung lengan kemejanya hingga ke atas, bermacam-macam tato terukir di atas kulit gelapnya.
Pria setengah baya segera menarik lengan pria berkacamata tersebut, perlahan digoreskannya kepingan tajam di atas salah satu tato bersimbolkan jangkar, yg memiliki arti sebagai kesetiaan terhadap keluarga.
Darah mengucur deras hingga menetes ke lantai.
Pria berkacamata segera beranjak pergi dari rumah tersebut, dengan lengan kanannya yg dibalut kain robekan kemejanya. Kini ia telah terbebas dan tak lagi terikat. "Dasar pengecut. Ambillah sesuka hatimu."
Sedangkan pria yg telah melukainya hanya tersenyum getir dari ambang pintu.
Betapa munafiknya manusia di bumi ini. Rupanya pikiran mereka telah dikotori oleh manifestasi berlandaskan hasrat, ego dan nafsu. Itulah mengapa banyak sekali pertautan antar manusia yg hanya sebatas takhta, kekuasaan maupun kehormatan. Tanpa sadar akal dan keinginan semu hanya untuk saling menghancurkan dan memuaskan batin masing-masing.
Agen perubahan yg tetap merangkak jauh di atas bumi tanpa tau letak tanah mereka. Kebebasan tanpa batas untuk saling menikam jantung saudara sendiri, hingga merasa jenuh. Sampai pada akhirnya mau berubah tanpa berulah.

Malang, Januari 2016.

Kamis, 07 Januari 2016

[Flash-fiction] Sayatan Pujian



Sayatan Pujian
oleh Peres Sar Arin

Di dalam sebuah rumah ada pertemuan keluarga besar. Malam itu kami sedang asyik menyantap hidangan yang telah disajikan. Kami melahapnya dengan nikmat. Hingga salah satu pamanku membuka perbincangan yang cukup serius.
“Diko, bagaimana wisuda kemarin?” Tanya beliau dengan nada santai, seketika aku terkejut mendengarnya.
“Lulus dengan gelar summa cumlaude.” Jawab papaku sebelum aku membuka mulut. Semua mata segera memandangku dengan takjub dan aku hanya tersenyum malu.
“Dia sudah mendapat proyek besar dalam pembangunan jembatan Green Bridge. Hampir setiap hari dia selalu menginap di kantor barunya dan dia berperan sebagai ‘akar’ dalam proyek ini.” Perjelas mamaku dengan nada bangganya.
“Hebat! Prestasimu benar-benar cemerlang.”
“Selamat ya! Om salut sama kamu Dik.”
“Kami sangat bangga dengan cucu yang satu ini. Kamu tidak pernah mengecewakan kami.”
Untuk kesekian kalinya aku tersenyum dan sedikit menimpali, “Ah tidak, kakak juga punya prestasi bagus kok.” Aku melirik seorang lelaki yang duduk di sampingku.
“Sandy sukanya menghabiskan uang, pergi ke sana kemari hingga kuliah dilalaikan. Hingga kini belum mampu menghasilkan uang, tidak seperti adiknya.” Terdengar sindiran tajam dari mulut papa. Dia yang merasa disindir hanya mencibir tanpa menimpali sepatah kata.
Kritikan tajam datang bersamaan dengan pujian yang bertubi-tubi. Pedas dan manis menjadi sepaket bumbu penyedap makan malam saat itu.
Hari sudah larut, namun perbincangan malam ini akan selalu menancap di pikiran. Kakak pergi ke beranda depan dengan menyelipkan sebatang rokok di sela jemarinya. Dengan segera aku menyusul ke beranda dan membawakan sepiring irisan mangga segar beserta garpu.
Tengah malam aku terbangun di beranda depan dan melihat Sandy, kakakku sedang terkapar dengan garpu yang menancap di lehernya. Darah segar menghiasi leher serta pakaiannya. Semua saudara mendatangi kami dan segera membopongnya. Papa menatapku tajam.
“Aku selalu melakukan hal yang benar, bukan?! Mana pujian untukku?”
Pandangan mereka yang amat menyayat tertuju pada telapak tanganku yang bersimbah darah.

Malang, 2015.

Semakin Saja



Kering.
Sengaja tak dipercikkan tinta.
Biarkan bebas.
Merambat di atas kertas.
Inspirasi berpola sarkas.
Semua berprasangka kecuali mata.
Pantas saja, kubiarkan cemas.
Hingga kering di kelopak.
Dan bahagia.
            Ilustrasi dalam nurani.
Tak sengaja, maksud tertebak.
Seketika terjebak dalam transparansi pikiran.
Kau tau sudah kering masih saja disentuh.
           Oleskan alkohol 70% agar aseptis.
           Miris sudah dibiarkannya teriris.
Hanya saja.
Semakin kering semakin bahagia.            
Matanya bersinar. Melihatnya kesakitan.


Malang. Januari, 2016.

Pengakuan



Mengapa selalu meredam semua ucapan? Mengapa menutup telinga ketika ada angin yang berbisik? Karena aku hanya lukisan yang terpampang di sudut dinding kamar. Yang menjadi pengamat diantara wajah-wajah bertopeng. Yang diam-diam menyusup pada sudut pandang yang berbeda. Hanya melihat tanpa berkomentar, karena suaraku teredam dalam dinding.
Seolah-olah kumendamba meloncat keluar dari figura emas tersebut, lalu berlari dan tetap berlari tanpa sedikitpun menengok. Akan tetapi selalu ada rantai yang mengikat diantara paku dan figura lukisan itu. Mengapa tidak dilepaskan saja? Karena aku bukan seekor singa.

Malang. Januari, 2016

Dengarkan

Dengarkan dan jangan pergi. Aku ingin bercerita padamu, tentang kepekatan yang menawarkan warna. Karakter yang tak bernama, tapi bernyawa. Sosok yang tak memiliki warna namun menyebarkan warna. Bagaimana bisa, pasti kau menyangsikan pekat yang satu ini, ya kan?
Tapi aku tidak. Pekatnya selalu membawa kepastian. Bahwa dalam pekat tidak selamanya terasa pahit. Pekatnya sangat mudah ditebak, karena dalam pekat tidak selalu gelap.
Dengarkan dan jangan pergi. Aku tak pernah bertemu dengan karakter tak bernama yang selalu membawa rasa was-was. Seperti tokoh figuran dalam novel, segala halnya tidak dibeberkan. Hanya lewat saja, tapi mengisi kekosongan dalam sebuah kisah. Aku ingin menyelami perspektif dari karakter itu, tanpa mengubah keorisinilannya. Akan ada banyak kisah yang tak perlu ditulis, karena itu tetap dengarkan dan jangan pergi...

Malang. Januari, 2016
 
Blogger Templates