Pages

Ads 468x60px

Rabu, 22 April 2015



Kami hanya pendamba sepi yg ingin meramaikan suasana.
Disebut peramai, nyatanya hanya tenggelam dalam sepi
Dalam sepi kami hanya peramai suasana sementara
Disebut pendiam, nyatanya keramaian membuatnya terbungkam

Jumat, 17 April 2015

Karena Kami Berteman

Beginilah cara kami berteman, tanpa memandang perasaan. Kami menggila bersama, canda tawa selalu menjadi sarapan di pagi hari. Kami tidak peduli orang lain menganggap kami seperti apa, yang penting kami senang.
Beginilah cara kami berteman, tanpa membawa perasaan. Jatuh cinta? Ah itu hanya omong kosong. Kami di sini bertukar kisah bukan untuk menarik simpati. Kami di sini karena kami saling membutuhkan.
Beginilah cara kami berteman, tanpa menengok ke belakang. Tentang apa yang terjadi kemarin, itu hanya pembelajaran. Tidak sedikitpun dari kami yang tidak merasakan pahitnya luka, tapi dengan beginilah kami bertahan untuk tetap menatap lurus ke depan.
Beginilah cara kami berteman, mereka menyebutnya sebagai pelampiasan. Atas segala sesuatu yang tidak menganggap keberadaan masing-masing dari kami. Kami ada untuk diakui namun pada kenyataannya pengakuan hanya datang di sementara waktu.
Beginilah cara kami berteman, kami berlari bersama pelampiasan. Kami melampiaskan kebosanan. Kami berteman karena sepi. Kami berteman dalam diam.
Beginilah cara kami berteman, kami muak akan pujian. Kami hanya ingin dihargai. Ah iya bukan kami, tapi masing-masing dari kami.
Untuk sementara waktu, biarkan kami berteman. Biarkan kedua tangan kami terbuka untuk saling merangkul dan menguatkan. Untuk sementara waktu, biarkan kami di sini bercengkrama dan menikmati senja bersama. Berceloteh ria tentang eloknya senja yang bersifat fana, seperti pertemanan pada umumnya. Singkirkan dulu tentang gender, biarkan kami menemukan kenyamanan, karena saat ini kami seolah-olah sedang membutuhkan Dumolid.

16 April 2015

Rabu, 15 April 2015

Senyum untuk menemani air mata

Dalam malam aku selalu merangkul sepi, berkawan dengan kenangan, berharap dapat menghadirkan ketenangan. Damai, satu kata yang terkandung di dalamnya. Itulah mengapa dulu aku sangat menyukai malam. Tapi malam tidak lagi semenarik dulu. Dia tidak lagi menawarkan kedamaian. Dia dingin dan selalu berhasil mencairkan kristal air mata. Aku tidak suka. Mengapa malam malah menyuguhkan luka?
Dalam malam suaraku selalu padam, tidak lagi terdengar. Dulu, malam tidak setega ini, dia selalu mampu membawa obat untuk luka, dia selalu bersahabat dengan imajinasi, dia tidak pernah sekalipun meninggalkan inspirasi. Sayangnya yang aku tahu, malam tidak lagi menjadi penikmat rindu.
Pada malam hari, aku mendengar suara teriakan yang menguasai malam dan menghancurkan sunyi. Lalu kugenggam kedamaian ini dengan erat agar tak lepas dimakan teriakan malam. Terus kurapatkan berharap kedamaian malam akan selalu menjadi sahabat terbaikku. Sayangnya, damai tak lagi mampu menguasai diriku yang ditemani sepi. Perlahan dia menghilang bersama cahaya bulan. Sangat gelap, malam telah dikuasai oleh ego manusia yang mampu menghancurkan kedamaian malam. Dan sekarang aku mengerti, malam telah menyisakan air matanya. Dalam sepi malam menangis. Dalam sepi malam merengek. Dalam sepi malam mengais kerinduan. Dalam sepi malam berharap digantikan oleh cahaya mentari. Sesungguhnya malam tidak pernah berperasaan, dia tidak pernah sedikitpun menangis atau tenggelam dalam luka. Aku merapatkan selimutku, mencoba menikmati malam dengan pesonanya yang tak lagi kukenal. Lalu aku tersenyum untuk menemani air mata malam. Ego manusia telah menyerang malam yang tenang. Dan kurasa, malam tidak pernah sehampa ini.
Dalam malam suaraku ditelan rindu, menyisakan harapan untuk sepi yang biasa bersahabat. Dalam malam aku hanya ingin mendengar, tentang senandung kedamaian yang selalu menghadirkan tawa, karena malam selalu menyediakan ruang untukku bercerita dalam sepi, membawakan kotak rahasia yang selalu terkunci, menyimpan gelak tawa diantara deretan rindu yang tak terbelenggu. Sebelum mereka merampas segalanya, sebelum mereka mengeluh tentang dinginnya malam yang selalu menusuk, aku ingin berdamai untuk sunyi yang mengalirkan air matanya. Hanyut dalam pelukan malam yang berusaha menyertakan ketenangan.
Setelah kusadari teriakan mereka telah mampu memecahkan kristal air mata malam, lalu pergi kemana kedamaian malam yang selalu bersahabat?

Minggu, 12 April 2015

Musisi harus menciptakan musik. Pelukis harus menggoreskan lukisannya. Penyair harus menulis sajaknya. Mereka harus melakukannya agar mencapai puncak kedamaian dalam diri mereka sendiri.
"Seseorang harus menjadi apa yang mereka bisa jadi."
Tetaplah seperti ini, karena yang kutakutkan adalah ketika kita hanya hadir dalam tawa.

@peres_arin

Jumat, 10 April 2015


Dengan sepenuh hati aku tidak ingin kau terluka atau berada pada titik terendah dalam hidupmu. Lalu kau berlutut mengharap pertolongan orang lain. Serta merta tersenyum namun tidak dengan tatapan matamu, memelas hingga meluluhkan hatiku, menghantam semua benteng pertahananku. Ingin kuraih kedua tangan tersebut, menggenggamnya dengan erat, menghangatkan sisi gelap yang menyelubungi pikirannya. Tidak, aku tidak ingin melepasmu, biarkan saja luka itu mengalir melalui kedua pergelangan tanganmu hingga aku mampu merasakannya. Mungkin kau akan berpikir aku sedang berusaha menarik simpatimu atau aku berlagak peduli dengan keadaanmu. Setidaknya percayalah, aku ingin membantumu berdiri dan berlari. Untuk kesekian kalinya aku tidak ingin mendorongmu bangkit, aku hanya ingin mengiringi langkahmu. Jika kau tersandung, ingatkan aku untuk selalu membantumu berdiri dan melangkahkan kaki lagi. Aku hanya ingin melindungimu, apakah itu salah jika aku perempuan dan kau adalah lelaki?

@peres_arin

Tak pernah termakan usia

Sumber inspirasi yang penuh warna, penuh imajinasi dan penuh keceriaan. Mereka membebaskan dunianya dari kebencian dan lebih memilih untuk tetap bahagia, benar bukan?
Anak-anak kecil, begitulah kami menyebutnya.
 
https://igcdn-photos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xaf1/t51.2885-15/11007969_465489170267456_293183817_n.jpg

Belati

Pena kecil tanpa suara, goresan luka tak beraksara
Meminta haluan meronta tanpa harapan
Menangis sambil meringis
Lara menyayat dalam darah
Sungguh tak berarti
Ucapmu seperti belati yang tak mampu kumengerti

@peres_arin

Kamis, 02 April 2015

Pelarian

Sebuah pelarian yang selalu kunanti, di antara setumpukan laporan dan praktikum yang tak pernah jera menghampiri. Kesempatan untuk menukar beribu kepenatan menjadi sejumput kebahagiaan. Kawan di kala sepi yang mampu mengakui. Untuk sebuah penantian, menunggu bukanlah hal yang membosankan lagi. Untuk sebuah pelarian yang selalu menemani, untuk sebuah pelarian yang membuatku tetap hidup dan bertahan dengan sisi yang lain, untuk sebuah pelarian yang ingin kutuju. Sebuah pelarian yang tak pernah berhenti berlari. Sebuah pelarian untuk ilusi yang nyata, iya itu kamu. Sosok yang kuharap menjadi tujuan di setiap langkah kaki kecilku. Sebuah pelarian yang membuatku bertahan, aku harap itu tetap kamu.

Untuk pelarian yang selalu kunanti di setiap waktu dalam sela-sela kesibukanmu, untuk pelarian yang berupa canda tawa, untuk pelarian yang tidak menawarkan rasa sakit. Tak kuasa ku berbisik lirih, semoga itu kamu yang mampu mengobati realita.

Kamu, sebuah pelarian yang selalu kudamba, kukagumi ketika berlari, dan kuresapi kala kupanjatkan doa.
 
Blogger Templates