Pages

Ads 468x60px

Jumat, 20 Desember 2013

Kamu



“Aku hanya melirikmu, tanpa melihatmu. Aku rasa kamu sama saja dengan yang lain, tak ada yang istimewa. Ya aku rasa.” Itu aku yang dulu.
“Ya aku telah melihatmu, seutuhnya. Aku tak lagi melirik karena kamu sudah ada di depanku. Aku tak lagi menoleh ke belakang karena kamu sudah berada di sampingku, selalu. Aku tak lagi khawatir karena kamu sudah menjagaku, selalu. Aku tak perlu mencari kebahagiaan, karena aku telah menemukannya, ya tepat di depan mataku.”
“Bisa dibilang aku sangat sulit membuka perasaanku kepada orang lain, apalagi orang yang baru ku kenal. Ada beberapa alasan yang membuatku seperti ini, salah satunya takut akan jatuh dan sakit. Ya itu namanya konsekuensi, jika kamu siap tuk jatuh cinta maka kamu juga harus siap merasakan jatuhnya itu.”
“Tapi ini berbeda, kamu seperti magnet yang tiba-tiba menarikku secara perlahan, dan ini juga bukan kesalahanmu apabila aku tertarik ke dalam medan magnetmu itu.”
“Aku mengakui bahwa ini  merupakan naluri batin. Aku tak mengenalmu tapi tiba-tiba saja aku memimpikanmu, memimpikan kita. Ini aneh. Namun lebih aneh lagi pada saat itu kamu sedang mencariku. Kamu menyebutnya sebagai sinyal simpati, simpatimu yang berlebihan kepadaku sehingga sinyal tersebut secara tidak langsung tersampaikan kepadaku melalui mimpi itu. Konyol sih tapi masuk akal. Bahkan pada saat itu aku belum mengenalmu tapi entah mengapa setelah aku mengalami mimpi tersebut aku semakin merasa dekat denganmu, secara batin.”
“Kamu bilang, sinyal itu bukan sekedar rasa simpati, kamu bilang kamu memikirkanku, kamu bilang itu sinyal cinta. Aku tak mempercayainya, tapi orang lain menyebutnya suatu keajaiban. Kamu bilang salah satu gurumu pernah bercerita mengenai sinyal simpati tersebut, dan beliau sering mengalaminya. Pada saat itu aku sedikit mempercayainya, sinyal simpatimu kepadaku.”
“Aku bersyukur mendapatkan mimpi itu sehingga aku tak terpaku ke belakang. Namun aku takut, takut akan jatuh lagi. Dan pada kenyataannya, kamu juga takut akan jatuh lagi, sangat takut. Bisa dibilang ketakutanmu lebih besar dariku. Ya kamu telah menderita, aku juga. Kamu telah disakiti, ya aku juga.”
“Tapi tiba-tiba kamu mengulurkan tangan kananmu padaku,
‘untuk apa?’ tanyaku.
‘aku akan menarikmu keluar jadi kamu tidak akan jatuh lagi.’ timpalmu.
‘tapi bagaimana kalau kamu ikut terjebak di sini? aku tak bisa membiarkan hal itu terjadi padamu, jika kamu terjebak maka aku juga akan terjebak.’ rasa penasaranku pun muncul.
‘tidak, kita akan keluar dari sini bersama, kamu dan aku. kita akan berjuang bersama.’
Dan pada akhirnya aku menerima uluran tangan lembutmu itu, kamu menarikku ke dalam pelukanmu. Tidak akan ada lagi yang terjatuh, aku tidak menginginkan ‘jatuh cinta’ melainkan ‘membangun cinta’, jadi salah satu dari kita tidak akan merasakan sakit hati lagi, aku akan menyembuhkanmu, aku tidak keberatan tuk menjadi obatmu. Aku akan berusaha membuatmu bahagia, namun aku tidak dapat memberikanmu janji-janji yang terlalu muluk. Aku tak dapat memberikan segala hal kepadamu, aku tak dapat memberimu sesuatu yang berharga, namun aku terus berusaha tidak membuatmu sedih. Aku hanya bisa memberimu sebuah kenyamanan, aku akan menjadi peminjam bahu untukmu, sesederhana itu saja. Karena pada dasarnya aku hanyalah manusia biasa.”
“Aku tahu kamu telah menderita sebelumnya, aku tidak tega melihatmu seperti itu. Apakah hal itu sangat menyiksamu? Jika iya aku bersedia menjadi obat untukmu.”
“Mungkin aku hanya berusaha membuatmu bahagia meskipun kamu tidak bahagia.”

0 comments:

Posting Komentar

 
Blogger Templates