“Aku
hanya melirikmu, tanpa melihatmu. Aku rasa kamu sama saja dengan yang lain, tak
ada yang istimewa. Ya aku rasa.” Itu aku
yang dulu.
“Ya aku
telah melihatmu, seutuhnya. Aku tak lagi melirik karena kamu sudah ada di
depanku. Aku tak lagi menoleh ke belakang karena kamu sudah berada di
sampingku, selalu. Aku tak lagi khawatir karena kamu sudah menjagaku, selalu.
Aku tak perlu mencari kebahagiaan, karena aku telah menemukannya, ya tepat di
depan mataku.”
“Bisa
dibilang aku sangat sulit membuka perasaanku kepada orang lain, apalagi orang
yang baru ku kenal. Ada beberapa alasan yang membuatku seperti ini, salah
satunya takut akan jatuh dan sakit. Ya itu namanya konsekuensi, jika kamu siap
tuk jatuh cinta maka kamu juga harus siap merasakan jatuhnya itu.”
“Tapi
ini berbeda, kamu seperti magnet yang tiba-tiba menarikku secara perlahan, dan
ini juga bukan kesalahanmu apabila aku tertarik ke dalam medan magnetmu itu.”
“Aku
mengakui bahwa ini merupakan naluri
batin. Aku tak mengenalmu tapi tiba-tiba saja aku memimpikanmu, memimpikan
kita. Ini aneh. Namun lebih aneh lagi pada saat itu kamu sedang mencariku. Kamu
menyebutnya sebagai sinyal simpati, simpatimu yang berlebihan kepadaku sehingga
sinyal tersebut secara tidak langsung tersampaikan kepadaku melalui mimpi itu. Konyol
sih tapi masuk akal. Bahkan pada saat itu aku belum mengenalmu tapi entah
mengapa setelah aku mengalami mimpi tersebut aku semakin merasa dekat denganmu,
secara batin.”
“Kamu
bilang, sinyal itu bukan sekedar rasa simpati, kamu bilang kamu memikirkanku,
kamu bilang itu sinyal cinta. Aku tak mempercayainya, tapi orang lain
menyebutnya suatu keajaiban. Kamu bilang salah satu gurumu pernah bercerita
mengenai sinyal simpati tersebut, dan beliau sering mengalaminya. Pada saat itu
aku sedikit mempercayainya, sinyal simpatimu kepadaku.”
“Aku
bersyukur mendapatkan mimpi itu sehingga aku tak terpaku ke belakang. Namun aku
takut, takut akan jatuh lagi. Dan pada kenyataannya, kamu juga takut akan jatuh
lagi, sangat takut. Bisa dibilang ketakutanmu lebih besar dariku. Ya kamu telah
menderita, aku juga. Kamu telah disakiti, ya aku juga.”
“Tapi tiba-tiba
kamu mengulurkan tangan kananmu padaku,
‘untuk
apa?’ tanyaku.
‘aku
akan menarikmu keluar jadi kamu tidak akan jatuh lagi.’ timpalmu.
‘tapi
bagaimana kalau kamu ikut terjebak di sini? aku tak bisa membiarkan hal itu
terjadi padamu, jika kamu terjebak maka aku juga akan terjebak.’ rasa
penasaranku pun muncul.
‘tidak,
kita akan keluar dari sini bersama, kamu dan aku. kita akan berjuang bersama.’
Dan
pada akhirnya aku menerima uluran tangan lembutmu itu, kamu menarikku ke dalam
pelukanmu. Tidak akan ada lagi yang terjatuh, aku tidak menginginkan ‘jatuh
cinta’ melainkan ‘membangun cinta’, jadi salah satu dari kita tidak akan merasakan
sakit hati lagi, aku akan menyembuhkanmu, aku tidak keberatan tuk menjadi
obatmu. Aku akan berusaha membuatmu bahagia, namun aku tidak dapat memberikanmu
janji-janji yang terlalu muluk. Aku tak dapat memberikan segala hal kepadamu,
aku tak dapat memberimu sesuatu yang berharga, namun aku terus berusaha tidak
membuatmu sedih. Aku hanya bisa memberimu sebuah kenyamanan, aku akan menjadi
peminjam bahu untukmu, sesederhana itu saja. Karena pada dasarnya aku hanyalah
manusia biasa.”
“Aku
tahu kamu telah menderita sebelumnya, aku tidak tega melihatmu seperti itu.
Apakah hal itu sangat menyiksamu? Jika iya aku bersedia menjadi obat untukmu.”
“Mungkin
aku hanya berusaha membuatmu bahagia meskipun kamu tidak bahagia.”
0 comments:
Posting Komentar