April, 2008.
Ruang tamu tak pernah sehening
ini. Jendela, kursi tak pernah semurung ini. Lukisan di dinding tak lagi
memancarkan pesonanya. Bunga di meja terlihat semakin kejam, menusuk bagi siapa
saja yang menatapnya, ia tak lagi mengeluarkan aroma khasnya. Suara tawa tak
lagi terdengar, seolah-olah dinding ruangan ini menyerap semua energi yang tersisa.
Hanya sayatan tersirat yang mampu diingat.
Tak ada lagi cicak di dinding, tak
ada lagi rayap di almari. Semua lari ketakutan, kalang kabut dibuatnya. Lalu apa
yang tersisa? Tidak ada. Hanya kekosongan yang transparan. Kunci pintu pun
sudah terlempar, jauh hingga tak tertangkap pandang. Tak ada lagi langkah sepatu
yang berisik di sampng dinding pembatas rumah. Tak ada lagi teriakan anak kecil
yang bermain selang air di depan pintu bobrok tua tak berengsel ini. Semua kandas.
Tak ada satupun langkah kaki yang
diperbolehkan menginjak bangunan tua bernomor 26B ini. Tak ada satupun jurnalis
yang diperkenankan meliput setiap momentum yang pernah terekam dalam memori. Tak
ada satupun orang yang tinggal di sana, kecuali satu hal yaitu kenangan. Disebut
kenangan karena memang pantas untuk dikenang.