April, 2008.
Ruang tamu tak pernah sehening
ini. Jendela, kursi tak pernah semurung ini. Lukisan di dinding tak lagi
memancarkan pesonanya. Bunga di meja terlihat semakin kejam, menusuk bagi siapa
saja yang menatapnya, ia tak lagi mengeluarkan aroma khasnya. Suara tawa tak
lagi terdengar, seolah-olah dinding ruangan ini menyerap semua energi yang tersisa.
Hanya sayatan tersirat yang mampu diingat.
Tak ada lagi cicak di dinding, tak
ada lagi rayap di almari. Semua lari ketakutan, kalang kabut dibuatnya. Lalu apa
yang tersisa? Tidak ada. Hanya kekosongan yang transparan. Kunci pintu pun
sudah terlempar, jauh hingga tak tertangkap pandang. Tak ada lagi langkah sepatu
yang berisik di sampng dinding pembatas rumah. Tak ada lagi teriakan anak kecil
yang bermain selang air di depan pintu bobrok tua tak berengsel ini. Semua kandas.
Tak ada satupun langkah kaki yang
diperbolehkan menginjak bangunan tua bernomor 26B ini. Tak ada satupun jurnalis
yang diperkenankan meliput setiap momentum yang pernah terekam dalam memori. Tak
ada satupun orang yang tinggal di sana, kecuali satu hal yaitu kenangan. Disebut
kenangan karena memang pantas untuk dikenang.
Dikata sahabat, karena mampu menghibur
di kala susah dan mau berbagi di kala senang melanda. Dikata sahabat, karena
punya tempat istimewa di hati. Dikata sahabat, karena kawan bicara serta
pendengar yang setia. Sayangnya, tak mau lagi disebut sahabat karena sejak saat
ini sudah dikenal apatis. Seperti belati, menagih-nagih momen lalu menusuknya
menjadi suatu memori. Dan memang, yang tersisa hanyalah kenangan.
Rumah, tidak pernah kosong,
selalu dihuni. Canda tawa tak pernah absen. Kawan berkhayal di kala sendiri. Kawan
yang mampu melindungi. Kawan yang tidak pernah marah ketika salah satu sudut
dindingnya dicoret-coret menggunakan cat minyak ataupun dijadikan sarana untuk
mengukur tinggi badan buah hati sang penghuni. Kawan yang tidak pernah kecewa
ketika salah satu ruangannya harus direnovasi, dicat dan dihias sesuai
permintaan. Teman setia yang tuna aksara, tuna busana, tuna karya, tuna netra, tuna
rungu, tuna susila dan tuna wicara. Teman yang mampu membuat kami bertahan
tanpa kepastian. Harus tinggal atau pergi.
Dan kami memilih untuk pergi...
Rumah, kosong, ingin dihuni. Ia sedang
mencari teman bicara. Siapa saja atau apa, jendela, kursi, atau bunga di meja. Namun
semua sunyi, sungguh menyayat seperti pisau belati. Tak segan-segan meminta
untuk dihuni dan ditemani.
Sayangnya, ia tak sadar. Ia telah
dihuni oleh kenangan. Sebagian besar memori kami yang sengaja kami tinggalkan,
sebagai kawan di kala sepi. Itulah kenangan kami.
Bangunan tua bernomer 26B, kami titipkan
rindu terdalam kami hingga suatu saat nanti kami mampu menjadi teman bicaramu
lagi...
Di sana ada kenangan. Terbaik
ataupun terburuk semuanya berkesan. Terima kasih telah menjadi tempat terbaik
kami selama kurang lebih 10 tahun. Salam hangat kami untuk kenangan yang tak
pernah terlupakan...
## Sepenggal kisah nyata dari penulis, juga berdasarkan
interpretasi lagu Banda Neira – Rindu.
0 comments:
Posting Komentar