Pages

Ads 468x60px

Rabu, 10 Juni 2015

Rumah Kosong

April, 2008.

Ruang tamu tak pernah sehening ini. Jendela, kursi tak pernah semurung ini. Lukisan di dinding tak lagi memancarkan pesonanya. Bunga di meja terlihat semakin kejam, menusuk bagi siapa saja yang menatapnya, ia tak lagi mengeluarkan aroma khasnya. Suara tawa tak lagi terdengar, seolah-olah dinding ruangan ini menyerap semua energi yang tersisa. Hanya sayatan tersirat yang mampu diingat.

Tak ada lagi cicak di dinding, tak ada lagi rayap di almari. Semua lari ketakutan, kalang kabut dibuatnya. Lalu apa yang tersisa? Tidak ada. Hanya kekosongan yang transparan. Kunci pintu pun sudah terlempar, jauh hingga tak tertangkap pandang. Tak ada lagi langkah sepatu yang berisik di sampng dinding pembatas rumah. Tak ada lagi teriakan anak kecil yang bermain selang air di depan pintu bobrok tua tak berengsel ini. Semua kandas.

Tak ada satupun langkah kaki yang diperbolehkan menginjak bangunan tua bernomor 26B ini. Tak ada satupun jurnalis yang diperkenankan meliput setiap momentum yang pernah terekam dalam memori. Tak ada satupun orang yang tinggal di sana, kecuali satu hal yaitu kenangan. Disebut kenangan karena memang pantas untuk dikenang.


Dikata sahabat, karena mampu menghibur di kala susah dan mau berbagi di kala senang melanda. Dikata sahabat, karena punya tempat istimewa di hati. Dikata sahabat, karena kawan bicara serta pendengar yang setia. Sayangnya, tak mau lagi disebut sahabat karena sejak saat ini sudah dikenal apatis. Seperti belati, menagih-nagih momen lalu menusuknya menjadi suatu memori. Dan memang, yang tersisa hanyalah kenangan.

Rumah, tidak pernah kosong, selalu dihuni. Canda tawa tak pernah absen. Kawan berkhayal di kala sendiri. Kawan yang mampu melindungi. Kawan yang tidak pernah marah ketika salah satu sudut dindingnya dicoret-coret menggunakan cat minyak ataupun dijadikan sarana untuk mengukur tinggi badan buah hati sang penghuni. Kawan yang tidak pernah kecewa ketika salah satu ruangannya harus direnovasi, dicat dan dihias sesuai permintaan. Teman setia yang tuna aksara, tuna busana, tuna karya, tuna netra, tuna rungu, tuna susila dan tuna wicara. Teman yang mampu membuat kami bertahan tanpa kepastian. Harus tinggal atau pergi.

Dan kami memilih untuk pergi...

Rumah, kosong, ingin dihuni. Ia sedang mencari teman bicara. Siapa saja atau apa, jendela, kursi, atau bunga di meja. Namun semua sunyi, sungguh menyayat seperti pisau belati. Tak segan-segan meminta untuk dihuni dan ditemani.

Sayangnya, ia tak sadar. Ia telah dihuni oleh kenangan. Sebagian besar memori kami yang sengaja kami tinggalkan, sebagai kawan di kala sepi. Itulah kenangan kami.

Bangunan tua bernomer 26B, kami titipkan rindu terdalam kami hingga suatu saat nanti kami mampu menjadi teman bicaramu lagi...

Di sana ada kenangan. Terbaik ataupun terburuk semuanya berkesan. Terima kasih telah menjadi tempat terbaik kami selama kurang lebih 10 tahun. Salam hangat kami untuk kenangan yang tak pernah terlupakan...



## Sepenggal kisah nyata dari penulis, juga berdasarkan interpretasi lagu Banda Neira – Rindu.

0 comments:

Posting Komentar

 
Blogger Templates