Sayatan Pujian
oleh Peres Sar Arin
Di dalam sebuah rumah ada
pertemuan keluarga besar. Malam itu kami sedang asyik menyantap hidangan yang
telah disajikan. Kami melahapnya dengan nikmat. Hingga salah satu pamanku
membuka perbincangan yang cukup serius.
“Diko, bagaimana wisuda kemarin?”
Tanya beliau dengan nada santai, seketika aku terkejut mendengarnya.
“Lulus dengan gelar summa cumlaude.” Jawab papaku sebelum
aku membuka mulut. Semua mata segera memandangku dengan takjub dan aku hanya
tersenyum malu.
“Dia sudah mendapat proyek besar
dalam pembangunan jembatan Green Bridge.
Hampir setiap hari dia selalu menginap di kantor barunya dan dia berperan
sebagai ‘akar’ dalam proyek ini.” Perjelas mamaku dengan nada bangganya.
“Hebat! Prestasimu benar-benar
cemerlang.”
“Selamat ya! Om salut sama kamu
Dik.”
“Kami sangat bangga dengan cucu
yang satu ini. Kamu tidak pernah mengecewakan kami.”
Untuk kesekian kalinya aku
tersenyum dan sedikit menimpali, “Ah tidak, kakak juga punya prestasi bagus
kok.” Aku melirik seorang lelaki yang duduk di sampingku.
“Sandy sukanya menghabiskan uang,
pergi ke sana kemari hingga kuliah dilalaikan. Hingga kini belum mampu
menghasilkan uang, tidak seperti adiknya.” Terdengar sindiran tajam dari mulut
papa. Dia yang merasa disindir hanya mencibir tanpa menimpali sepatah kata.
Kritikan tajam datang bersamaan
dengan pujian yang bertubi-tubi. Pedas dan manis menjadi sepaket bumbu penyedap
makan malam saat itu.
Hari sudah larut, namun
perbincangan malam ini akan selalu menancap di pikiran. Kakak pergi ke beranda
depan dengan menyelipkan sebatang rokok di sela jemarinya. Dengan segera aku
menyusul ke beranda dan membawakan sepiring irisan mangga segar beserta garpu.
Tengah malam aku terbangun di
beranda depan dan melihat Sandy, kakakku sedang terkapar dengan garpu yang
menancap di lehernya. Darah segar menghiasi leher serta pakaiannya. Semua
saudara mendatangi kami dan segera membopongnya. Papa menatapku tajam.
“Aku selalu melakukan hal yang
benar, bukan?! Mana pujian untukku?”
Pandangan mereka yang amat
menyayat tertuju pada telapak tanganku yang bersimbah darah.
Malang, 2015.
0 comments:
Posting Komentar