Pages

Ads 468x60px

Kamis, 24 September 2015

Teruntuk Raka (1)

Teruntuk Raka, yang entah sekarang sedang berada dimana.

Selamat malam Raka, bagaimana kabarmu? Aku harap kamu baik-baik saja di sana. Ah iya, kamu pasti tidak mengenalku? Ah bukan seperti itu, hanya saja saat ini aku sedang menyangsikan segala ingatanmu. Untuk bertemu denganmu saja mustahil bagiku. Jadi, apakah kamu menyukai segala perubahan dalam hidupmu saat ini? Aku selalu berharap kamu mengalami hal-hal yang menyenangkan. Semoga kamu selalu mendapat perlindungan dan kehidupan yang layak ya, Amin.

Tak sengaja aku mengutip kata-katamu pada saat itu. "Aku benci malam." Apakah belakangan ini kamu mengalami insomnia? Aku harap tidak, akan tetapi firasatku berkata lain. Aku tau kamu membenci insomnia, apalagi jika kamu sedang terkunci di dalam kamar seorang diri. Tak ada teman bicara, kamu hanya termenung dan memikirkan hal-hal yang akan terjadi pada esok hari. Sama, aku pun juga begitu. Aku sangat membenci insomnia. Ingat tidak, ketika kali pertama kamu mendapati kaos kakimu disembunyikan oleh kakakmu saat itulah kamu mengalami insomnia akut, sepanjang malam kamu hanya memikirkan cara untuk mendapatkan kaus kakimu kembali di keesokan hari. Ingat tidak, ketika kali pertama kamu diam-diam mengambil secuil donat karena tak dapat menahan rasa lapar pada tengah malam dan tiba-tiba kamu mendapatkan dirimu terkunci di dapur saat itulah kamu benci dengan kesendirian. Ingat tidak, ketika kali pertama kamu tidur di kamar yang sama dengan kakak-kakakmu saat itulah kamu paham bahwa kamu mulai diperlakukan berbeda oleh yang lain. Ingat tidak, ketika malam tahun baru di saat umurmu 4 tahun, kamu merengek minta dibelikan kembang api nyatanya mereka malah membelikanmu obat, yang paginya baru kamu sadari ternyata itu adalah obat tidur dan malangnya kamu melewatkan momen tahun baru yang sangat kamu dambakan. Ingat tidak, ketika kamu tidur di atas karpet bergambarkan Tom and Jerry kamu selalu terbangun pada tengah malam dan mendapati dirimu sedang berada di ruang tamu. Hukuman serupa itulah yang membuatmu sangat membenci malam hari. Aku sempat berpikir apakah kamu tidak merasa lelah ketika kamu menghabiskan malammu hanya dengan melamun, atau luka-luka yang kamu alami menyita malammu. Raka, setidaknya kamu harus memikirkan kondisimu pada saat itu. Jujur saja aku tak tega melihatmu bermain dengan sepi di malam hari, berharap esok hari akan menjadi hari yang lebih baik. Harapanmu di tengah malam yang selalu mengambang dalam pikiran, berdoa agar mereka tidak melepasmu. Kamu tau Raka, aku selalu ingin berada di sampingmu berkata bahwa segalanya akan segera membaik, mengusap kepalamu dan menyanyikan lagu Nina Bobok dengan lirih atau membacakan dongeng hingga kamu terlelap tanpa ada satu pikiran yang menerobos masuk tanpa ijin ke dalam mimpi-mimpimu. Jika aku tak mampu menemanimu dalam rapuhnya malam, aku ingin membiarkanmu bermimpi indah, sekali saja. Raka, cobalah untuk bersahabat dengan malam dan cobalah untuk melunak pada luka-lukamu kemarin.

Ternyata pagi hari selalu membawa harapan baru, benar tidak? Aku masih ingat ketika kamu bercerita tentang pagi di Denpasar, begitu kamu membuka mata hangatnya mentari langsung menyambut harimu. Kali pertama kamu berlibur bersama mereka. Kamu sengaja tidur di balkon hotel, dengan berselimutkan 2 jaket tebal oleh-oleh dari Bandung, hanya untuk melihat mentari pagi menyapamu. Sepertinya kamu masih begitu menikmati cahaya mentari pagi ketika kakak sepupumu datang membawakan segelas susu Milo, kesukaanmu dan sepotong roti lapis berbentuk segitiga. Lalu kakakmu segera memanggilmu untuk sarapan pagi bersama dengan yang lain. Sempurna. Jika saja pagi itu kamu bisa menikmati lebih lama waktu berliburmu, aku yakin kamu sangat bahagia. Aku selalu berharap kamu masih mengingat hal-hal kecil seperti ini, yang secara tidak sengaja menyentuh hatimu dan membuatmu bertahan.

Hingga beberapa minggu kemudian liburanmu telah usai. Kamu harus bangun pagi sekali untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah. Jadwal tidurmu pun berantakan, ada kalanya kamu hanya tidur selama satu jam, itupun sudah sangat kamu syukuri. Aku menjadi penasaran, mengapa malam tidak pernah membiarkanmu terlelap dengan tenang. Entahlah, mungkin jika pertanyaan ini kulontarkan padamu kamu pun hanya bisa menggelengkan kepala tak mengerti. Ranjang kecil tempatmu merebahkan tubuh selalu kamu bereskan serapi mungkin, diantara berjejer-jejer ranjang di sana kuyakin hanya ranjangmu yang paling rapi meskipun hanya ada selimut tebal di atas spreimu. Kamu selalu mendapatkan antrian mandi paling akhir, walaupun kamu selalu bangun paling awal. Raka, aku tak mengerti perlakuan macam apa itu.

Raka, maafkan aku yang telah mencuri secuil kisahmu di meja makan, meskipun aku tau kamu sebenarnya segan untuk membagikan kisahnya bersamaku. Pagi itu kamu tampak terburu-buru menuruni tangga. Berderet-deret makanan dan minuman telah disajikan di meja makan. Sebuah kursi kosong telah disiapkan untukmu. Semua mata memandangmu, lalu kamu melantunkan kata maaf. Dengan segera kamu meneguk segelas susu Milo cokelat tanpa ragu. Tampaknya mereka masih menikmati makanan yang telah dihidangkan hingga melupakan satu hal, tidak ada makanan di mejamu selain segelas susu yang sudah habis tanpa sisa. Hal ini pun tetap berlanjut di kemudian hari. Aku tak mengerti mengapa kamu tidak protes saja pada saat itu, melainkan hanya diam saja menunggu mereka menghabiskan sarapan di pagi itu. Raka, apakah setidaknya kamu tidak merasa lapar? Aku saja hampir setiap hari selalu diberi sarapan bahkan aku tidak boleh keluar rumah jika belum sarapan.

“Tidak ada sarapan yang tersisa.” Katamu pada saat itu. Aku hanya mengangguk pelan, melihat ekspresimu yang mencoba mengingat kisahmu saja aku tak tega apalagi membayangkannya. Raka, aku baru menyadari satu hal dalam dirimu, kamu ternyata sangat rapuh. Ketika kamu bilang, “Aku tak ingin mengganggu sarapan mereka.” Inginku menarikmu keluar dari kisah di meja makanmu dan menggantikannya dengan kisah yang lebih menyenangkan, mungkin saja sarapan di negeri orang sambil menikmati segelintir semangat untuk mengawali hari. Aku tidak suka melihatmu bersedih seorang diri, terutama ketika kamu kabur menuju ruang music dan berani membolos pelajaran demi melampiaskan kepedihanmu. Tuts hitam putih bergerak dengan lincahnya karena jemarimu yang sedang menari di atasnya, segala melodi terdengar di seluruh ruang. Kamu tenggelam bersama duniamu meluapkan segala perih. Hingga membuatku tercengang ketika kamu disuruh bermain piano di atas panggung untuk mengisi salah satu acara sekolah. Kelihaianmu terhadap piano membuat mereka terheran-heran, sesosok Raka yang sangat pendiam, cengeng dan tak memiliki satu pun teman di sekolah.

Ada kalanya aku berharap saat ini kamu sedang berada di Jerman untuk pergi ke sekolah music. Ah, tapi aku siapa? Mengenalmu pun aku ragu. Tapi tenang saja, potongan-potongan kisahmu masih tersimpan rapi dalam benakku meskipun aku sungguh skeptis mengenai keberadaanmu.

Bersambung...

0 comments:

Posting Komentar

 
Blogger Templates