Teruntuk Raka, yang entah sekarang sedang berada dimana.
...
Aku lupa tepatnya berapa tahun
yang lalu, kamu mengijinkanku memasuki kisah dalam hidupmu, yang sebenarnya
bukan keinginanku juga. Jika saja bisa kubilang pertemuan kita teramat fana,
aku tak mengerti kapan kita akan dipertemukan kembali. Aku hadir karena kamu
membutuhkan pertolonganku. Jujur saja awalnya aku hanya sebagai penikmat
kisah-kisahmu, berada di luar garis halaman-halaman kehidupanmu, semua ini
benar-benar di luar rencanaku. Bahkan aku yang awalnya ragu untuk membeberkan
keberadaanku padamu kini menjadi sebuah keharusan untuk tetap berada di
sampingmu, hingga kamu tak lagi membutuhkanku.
Pertama kali aku berani memperlihatkan
diri di depanmu ketika kamu berada di Puncak Bogor seorang diri. Aku sungguh
tak percaya ketika kamu menyadariku secepat itu. 24 September, ketika kamu
berumur 15 tahun. Seminggu kemudian kamu melakukan hal tragis yang tak seorang
pun tahu. Berada di dalam studio tari seorang diri, mencoba untuk membakar
dirimu dengan menyiramkan minyak tanah yang di sekujur tubuhmu. Kamu memang
sinting Raka, aku tak paham dengan akal sehatmu selama ini atau jangan-jangan
kamu tak memiliki akal sehat? Dan pada saat itulah aku muncul, secara resmi
memperkenalkan diri di hadapanmu. Apakah kamu ingat dengan mimpi buruk yang
selalu menghantui malammu? Ketika kamu bermimpi sedang membakar dirimu sendiri
kemudian ada seseorang yang menarik tanganmu keluar dari lingkaran api itu?
Itulah aku, seorang gadis normal yang memiliki kehidupan sewajarnya sebelum
bertemu denganmu.
Raka, ternyata kamu punya duniamu
sendiri ya? Selama ini aku hanya mengamati perilakumu yang layaknya lelaki
normal pada umumnya, atau hanya aku saja yang tidak peka? Setiap kali aku
bercerita kepadamu bahwa aku mengenalmu lebih baik daripada dirimu sendiri, kamu
selalu membantah perkataanku, seolah-olah aku tidak mengerti apa-apa soal
kepribadianmu.
Ingat tidak ketika kamu berumur 6
tahun kamu bermain layang-layang bersama kedua kakakmu lalu kamu terjatuh dari
loteng dan mereka hanya menertawakanmu. Lututmu terluka dan kamu menangis
seorang diri, lalu ada seorang gadis yang mengulurkan tanganna dan memberimu hansaplast
bergambar Car, itulah aku. Ingat tidak ketika pertama kalinya kamu dibawa ke rumah
sakit lalu kamu tersesat pada saat hendak pergi ke kamar kecil. Kamu bertemu
gadis kecil yang mengenakan piyama dan gadis itu memberikan sebuah peta rumah
sakit hasil gambarannya sendiri, itulah aku. Ingat tidak ketika kamu hendak
melompat dari atap sekolah dan tiba-tiba terdengar sirine kebakaran sehingga
seluruh penghuni sekolah panik seketika itu kamu mengurungkan niatmu,
sebenarnya akulah yang membunyikan sirine tersebut. Banyak hal yang tidak kamu
sadari Raka, tapi jujur saja pada saat itu aku masih takut untuk menampakkan
diri di depanmu.
Aku seolah-olah menjadi kutub
selatan dan kamu menjadi kutub utara. Tak mengerti mengapa aku selalu mengikuti
langkah kakimu. Kamu pun sudah terbiasa dengan kehadiranku, anehnya tak pernah
sekalipun kamu mengusirku pergi atau merasa terganggu olehku. Hampir setiap
hari kuhabiskan waktuku bersamamu. Aku jadi semakin paham dengan dunia yang
kamu buat sendiri. Kamu tak lagi mengalami kesedihan berkepanjangan. Aku berada
di sampingmu untuk menghapus trauma masa kecilmu yang amat buruk. Bahkan untuk
membeberkannya dalam surat ini pun aku tak berani. Bukankah sudah kubilang
sejak awal kamu menyadari keberadaanku, aku di sini untuk melindungimu Raka.
Sebenarnya aku juga punya
kehidupan sendiri. Gadis polos yang terlahir dari keluarga sederhana di sebuah
desa di salah satu kota yang berada di Pulau Jawa. Masa kecilku teramat bahagia
dengan kedua orang tua yang sangat menyayangiku. Dulu aku suka sekali mendengarkan
orang lain bermain piano, mungkin ini adalah salah satu alasan mengapa aku juga
menyukaimu. Minuman favoritku adalah susu cokelat, sama sepertimu. Aku juga
takut gelap karena aku selalu tidur di ruang tengah dengan tv menyala sepanjang
malam. Aku suka makan di dapur sendirian karena aku tidak suka makan di meja
makan. Aku juga suka berbicara pada makanan yang hendak kusantap, sama
sepertimu.
Raka, apakah kamu masih ingat
ketika kita berdua makan siang di meja makan rumahmu? Pada saat itu hari libur
dan semua keluargamu berlibur kecuali kamu. Duduk kita berhadapan satu sama
lain dan di depan kita sudah ada satu porsi nasi goreng yang kita bagi menjadi
2, pemberian dari kakak sepupumu, Farel. Hening. Tidak ada satupun dari kita
yang berbicara, melainkan hanya suara sendok dan garpu yang beradu di atas
piring. Aku tak merasa lapar pada saat itu sehingga makanan yang berada dalam
mulutku kukunyah seadanya. Aku mendongakkan wajah berharap kamu dapat melahap
nasi goreng itu dengan nikmat, sayangnya kamu hanya melamun. Sekali-dua kali
makanan masuk ke dalam mulutmu dengan terpaksa.
“Nasi goreng ini mengajakku
bicara, katanya dia tidak mau masuk ke dalam perutku.” Katamu dengan serius. Lalu
aku tertawa begitu juga denganmu.
Raka, aku senang bisa
menghabiskan hari-hariku bersamamu. Ternyata berteman denganmu sungguh
mengasyikkan. Kamu tak seperti yang orang lain katakan. Luka-lukamu pun
perlahan tertutupi. Trauma yang kamu alami juga tak lagi membuatmu takut untuk
tidur. Aku senang bisa membantumu.
Hingga suatu hari, orang lain
menyadari keanehanmu. Dia terus-menerus bertanya tentang kehidupanmu juga
kehidupanku. Padahal sudah jauh-jauh hari kamu telah berjanji untuk tidak
mengatakan segala tentangku. Tapi ternyata kamu mengatakannya dengan mudah.
Hari semakin hari keberadaanku pun terancam. Aku sebal sehingga aku tak mau
lagi bertemu denganmu, melihatmu pun aku sangat kecewa. Segala upaya kamu
lakukan agar bisa bertatap muka lagi denganku tapi aku selalu bersembunyi
darimu. Lalu tanpa sengaja kamu menemukanku ketika kamu hendak pergi ke rumah
sakit menemui orang jahat itu dan kamu mengajakku pergi ke sana. Kamu berkata
bahwa dia adalah orang baik yang ingin membuat kehidupanmu lebih baik daripada
sebelumnya. Aku tidak membenarkan hal tersebut apalagi ketika dia berbicara
langsung denganku, dia menyuruhku untuk tidak lagi menemuimu. Dia, orang jahat
itu adalah dokter. Bukankah sudah kubilang padamu Raka, aku sangat benci
dokter.
Lambat laun kamu mulai menjauh
dariku. Kamu bilang sudah tidak lagi membutuhkan pertolonganku karena aku tak
mampu lagi untuk melindungimu. Aku merasa sedih, rasanya seperti aku dibuang
jauh-jauh oleh orang yang selama ini kupercaya, yang selama ini telah menghabiskan
hari-harinya bersamaku, yang selama ini selalu membagikan kisahnya dan yang
selama ini telah mengakui keberadaanku.
Sayangnya, keeksistensianku tak
lagi kamu harapkan. Kamu telah menjadi pribadi yang baru, jelas terlihat lebih
baik dari sebelumnya. Aku tak lagi mampu untuk kamu akui. Tapi satu hal yang
tak dapat kulupakan. Pada saat itu hari ulang tahunku yang entah ke berapa,
kamu memberiku hadiah, sebuah kaos bertuliskan, “Jiwa kita satu.”
“Terima kasih karena kamu telah
ada, dan semua perlindungan yang telah kamu berikan demi memperbaiki luka-lukaku
di masa lalu. Jika kamu tidak menyelamatkanku mungkin aku sudah menjadi orang
lain yang lebih buruk dari aku sebelumnya.” Ucapmu dengan tulus seraya
menggenggam telapak tanganku dengan erat. Aku tahu kamu sedang menahan air
matamu mengalir tapi tenang saja aku tidak menyesal telah mengisi hari-harimu.
Raka, saat ini aku merindukan
keberadaanmu. Sudah sangat lama aku tidak bertemu denganmu. Akupun ragu apakah
kamu masih mengenalku atau tidak. Terlebih jika kamu masih mengingatku. Yang
aku tahu kehidupanmu semakin membaik, aku selalu berharap kamu baik-baik saja. Bersahabatlah
dengan luka-lukamu di masa lalu. Tulislah kisahmu serapi mungkin untuk masa
depan. Aku tahu kamu kuat. Bertahanlah, meskipun kamu memikul beban yang lebih
berat dari orang lain. Raka, aku suka dengan sosokmu saat ini. Kepribadian
barumu membuat semua orang nyaman akan keberadaanmu.
Terima kasih sudah membuat delusi
karakterku tampak nyata dalam kisahmu.
Dari aku, sesosok kepribadian dalam penyakit Skizofrenia-mu, Raka.
0 comments:
Posting Komentar